1. Prinsip Fastabiqul khaerat
Bersegera dalam merebut setiap peluang untuk melakukan kebaikan merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa (al-Imran: 133). Selain Fastabiqul khaeraat (al-Baqarah: 148), ada beberapa bentuk seruan Allah dalam al-Qur'an yang memotivasi kita untuk bersegera untuk melakukan kebajikan dan tidak menjadi orang yang selalu menunda amalan. Kata-kata Wasaari'uu (bersegeralah kalian) (al-Imran :133), Wasaabiquu (berlomba-lombalah kalian) ( (al-Hadiid:21), Wafidzalika falyatanaafasil mutanaafisun (Dan pada yang seperti itu hendaklah kalian saling bersaing) (al-Muthaffifiin:26) semuanya bermuara kepada makna agar setiap muslim memanfaatkan peluang kebajikan dengan segera dan menjadi yang terbaik (menjadi pemenang dan bukan pecundang) dalam setiap amal shaleh yang dikerjakan. Allah memuji Nabi Zakariya 'Alaihissalam beserta keluarga beliau karena telah berhasil mengejawantahkan prinsip ini dalam bingkai yang terbaik. Allah berfirman :
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (al-Anbiyaa': 90).
2. Prinsip Mujahadah (Kesungguhan)
Melakukan amal shaleh secara maksimal membutuhkan pengorbanan (tadhiyah). Ubay bin Ka'ab mengilustrasikan bahwa ketakwaan itu ibarat berjalan di jalan yang penuh duri ia butuh kehati-hatian dan kesungguhan. Ia berangkat dari niat yang ikhlas kemudian secara nyata ditunjukkan dengan amal yang serius dan penuh kesungguhan. Allah Ta'ala memuji dan menjanjikan syurga para pejuang amal shaleh yang dengan serius dan penuh kesungguhan membuktikan bahwa ketakwaan bukan hanya sekedar untaian kata-kata manis dan hiasan bibir tetapi perlu dibuktikan dan ditunjukkan kehadirat Ilahi Rabbi. Allah berfirman :
"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun, dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (tidak meminta-minta). (Adzdzaariyaat : 16-18)
Sebagai balasan atas komitmen kesungguhan ini hamba Allah Ta'ala berjanji untuk memberikan petunjuk dan membuka jalan-jalan kebajikan untuknya. Allah Ta'ala berfirman:
"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami". (al-Ankabuut: 69).
3. Prinsip Istimroriyah (Berkesinambungan)
Prinsip menjaga istimroriyah amalan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam rangkaian ibadah dalam Islam, bahkan ia menjadi satu ruh yang menjiwai amalan tersebut berkwalitas atau tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah ditanya: "Apakah amalan yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Amalan yang dilaksanakan secara berkesinambungan (kontinyu) walaupun sedikit" (HR. Bukhari). Aisyah Ummul Mukminin menjelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling konsisten dalam melakukan amalan/ibadah (HR.Muslim). Dalam rangka menjaga kesinambungan amalan, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam juga kadang mengganti (qodho) suatu amalan yang beliau tidak lakukan pada waktunya dikarenakan adanya halangan.
Islam hanya mensyariatkan satu jenis ibadah yang diperintahkan untuk dilakukan sekali dalam seumur hidup, yaitu ibadah haji, itupun takkala kita mampu menunaikannya. Ini menandakan bahwa semangat menerapkan nilai takwa harus beriringan dengan adanya kesadaran menerapkan kesinambungan serta menjaga konsistensi amalan yang dilakukan.
4. Prinsip Tawazun (Keseimbangan)
Syariat Allah adalah syariat yang dibangun di atas landasan at-taysir wa raf'ul masyaqqah (mudah dan tidak mempersulit). Ia diciptakan untuk manusia yang mempunyai keterbatasan dalam banyak hal. Allah tidak mensyariatkan satu bentuk perintah ataupun larangan kecuali semuanya dalam batasan kesanggupan dan kemampuan manusia itu sendiri. (al-Baqarah : 286).
Maksimalisasi amal shaleh tidak berarti kita harus bersikap ekstrim (ghuluw) dalam mengaktualisasikan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Maksimalisasi bermakna melaksanakan ibadah dengan penuh keikhlasan serta berdasarkan tuntunan yang shahih tanpa perlu bersikap ekstrim atau menganggap enteng amalan tersebut.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari diceritakan perihal tiga orang sahabat yang mendatangi rumah istri-istri Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk mencaritahu tentang ibadah-ibadah Rasulullah. Ketika disampaikan kepada mereka tentang realitas ibadah Rasulullah, merekapun tiba pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah masih sedikit (belum maksimal). Dalam kisah tersebut, masing-masing dari ketiga sahabat itupun berjanji. Sahabat yang pertama berjanji untuk melaksanakan qiyamullail sepanjang malam dan tidak tidur. Yang kedua benjanji untuk berpuasa sepanjang tahun (setiap hari). Dan ketiga berjanji untuk tidak menikah. Mendengar hal tersebut, Rasulullah pun segera menegur ketiganya seraya mengatakan bahwa sunnah (tuntunan) beliau adalah bersikap seimbang dalam ketiga perkara tadi.
Sikap tawazun dalam beramal dan menjauhi paradigma ghuluw merupakan bagian yang terpenting dalam memaksimalkan amal shalih. Menjaga kesederhanaan, keseimbangan dan tetap memperhatikan hak-hak yang lain (hak keluarga, badan dan yang lainnya) inilah yang akan memberikan konstribusi nafas yang panjang dalam pelaksanaan amalan itu sehingga ia tidak menjenuhkan apalagi sampai meninggalkan amalan itu secara total. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :
"Bersikap sederhanalah, bersikap seimbanglah pasti kalian akan maksimal". (HR. Bukhari).
Wallahu ’Alam.
Abu Ziyad El Makassary
Ust. Ahmad Hanafi, Lc. MA.
Ust. Ahmad Hanafi, Lc. MA.
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !