THOHAROH (Tata Cara Bersuci)

21 Juli 2010 Label:
A. Definisi Thoharoh
secara morfologi (bahasa): Thoharoh berarti An-Nazhofah (pembersihan) atau An-Nazahah (pensucian).

Secara Etimologi (istilah): membersihkan diri dari najis (kotoran) dan hadats. Atau mensucikan diri dari segala macam sifat/ perangai/ akhlak/ perilaku yang kotor/ tidak terpuji.

B. Macam-Macam Thoharoh

Thoharoh ada dua macam, yaitu:

1. Thoharoh Bathiniyah Ma’nawiyah (pensucian jiwa).

Yaitu mensucikan diri, hati dan jiwa dari noda syirik, syak (keraguan), subhat (racun kebohongan) dan bentuk-bentuk perbuatan maksiat lainnya. Cara-caranya dengan:

• Mengikhlaskan ibadah hanya kepada Alloh semata, dengan memfokuskan tujuan dan sasaran ibadah hanya kepada-Nya saja.

• Mutaba’ah (mengikuti) Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam dalam beramal, berperilaku, bermuamalah dan berakhlak, bahkan dalam segala hal yang kita anggap remeh sekalipun.

• Membersihkan diri dari pengaruh dan noda hitam perbuatan maksiat, dosa-dosa dan segala bentuk penyimpangan dalam syari’at, dengan taubat nashuhah (sungguh-sungguh)

2. Thoharoh Dzohiroh Hissiyah

Yaitu membersihkan diri dari khobats (kotoran luar) dan hadats (dari dalam).

Khobats adalah najis (kotoran) yang dapat dihilangkan dengan air seperti kotoran yang melekat dibaju orang sholat, dibadan dan ditempat sholatnya. Sedangkan hadats adalah thoharoh dari kotoran yang khusus dan tertentu cara menghilangkannya yaitu dengan wudhu, mandi atau tayamum. (inilah yang menjadi bahasan dalam bab ini).

C. Jenis-Jenis Air

Ada empat (4) jenis air yaitu:

1) Air Mutlaq.

Yaitu air yang secara dzat / dzohirnya suci dan dapat dipergunakan untuk bersuci (suci mensucikan). Diantaranya adalah:

a) Air hujan, salju atau es (hujan es), embun, mata air dan air sungai.

Alloh swt berfirman:

Artinya:"Dan Alloh menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu". (QS. Al Anfaal:11)

Dari itu Alloh menurunkan air hujan dari langit kepada kalian agar dia sucikan kalian dengan air hujan itu dari hadats dan khobats. (lihat Taisir Al-Aziz Ar-Rohman: 278).

Abu Huroiroh ra berkata tentang doa iftitah Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam:
”اللَّهُمَّ باعِدْ بَيني وَبَيْنَ خَطايايَ كَما باعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّني مِنْ خَطايايَ كَما يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللّهُـمَّ اغْسِلْني مِنْ خَطايايَ، بِالثَّلْجِ وَالمـاءِ وَالْبَرَدِ“.
"Ya Alloh jauhkanlah antara aku dengan kesalahan-kesalahan sebagaimana engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Alloh sucikanlah aku dari segala kesalahan sebagaimana disucikannya baju putih dari kotoran. Ya Alloh cucilah kesalahanku dengan air, air salju dan air embun". (HR. Bukhori: 1/181 dan Muslim: 1/419)

b) Air Laut

Abu Huroiroh ra berkata:

"seorang laki-laki bertanya kepada Rosululloh saw seraya berkata: ya Rosululloh, saya sedang brlayar dan hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu memakai air minum itu, kami akan kehausan. Apakah kami boleh berwudhu dengan air laut? Rosululloh saw bersabda: laut itu suci airnya dan halal bangkainya". (HR. At-Tirmidzi: 63, ia berkata ini hadits hasan shohih)

c) Air zamzam.
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَعَا بِسَجْلٍ مِنْ مَاءِ زَمْزَمٍ فَشَرِبَ مِنْهُ وَتَوَضَّأَ

Ali ra berkata:" sesungguhnya Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam minta satu ketel air zamzam, lalu beliau meminumnya dan berwudhu dengannya". (lihat Irwaul Gholil: 13, shohih)

d) Air yang tercampur, karena telah lama tergenang pada suatu tempat atau karena bercampur dengan benda yang dapat merubah dzat air tersebut seperti air yang dipeuhi oleh lumut atau ganggang atau bercampur dengan daun-daun (yang membusuk).

2) Air Must’mal.

Yaitu air sisa wudhu atau mandi. Air jenis ini hukumnya sama dengan hukum air mutlak yaitu suci mensucikan.
اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ فِيْ جَفْنَةٍ فَأَرَادَ رَسُوْلَ اللهِ أَنْ يَتَوَضَّأَ مِنْهُ فَقَالَتْ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ كُنْتُ جُنُبًا فَقَالَ: "إِنَّ المَاءَ لَا يَجْنِبُ".

”sebagian isteri-isteri Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam mandi disatu bak. Kemudian Nabi Muhammad Sholallohu 'alaihi wa sallam hendak berwudhu dari air tersebut. Maka isterinya berkata:"Ya Rosulalloh saya tadi junub. Beliau menjawab: sesungguhnya air tidak menjadi junub". (HR. At-Tirmidzi: 65, ia berkata: ini hadits hasan shohih)

Hadits ini dijadikan dalil atas sucinya air musta’mal. Dan air tidak menjadi junub dengan mandinya orang junub dari air dikolam tersebut.

3) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci

Seperti bercampur dengan sabun, minyak zaitun, za’faron, tepung dan sesuatu lainnya yang dapat merubah dzat air. Hukum air ini adalah suci selama masih dianggap sebagai air murni.

Dan apabila secara adat sudah tidak dapat dikatakan sebagai air maka ia pun tetap suci, namun tidak dapat digunakan untuk bersuci.

Ummu Athiyah berkata:
دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيِّ وَ نَحْنُ نَغْسِلُ ابْنَتَهُ فَقَالَ: اغْسِلْنَهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ مِنْ ذَلِكَ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

"Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam memasuki kami saat kami memandikan anak putrinya. Beliau bersabda: mandikanlah tiga kali, lima kali atau lebih jika dipandang perlu dengan campuran air dan daun bidara….". (HR. Bukhori : 1253 dan Muslim: 939)

4) Air yang bercampur dengan sesuatu yang najis.

Hal ini masih mempunyai dua kemungkinan, yaitu:

a. Jika najis tersebut merubah dzat (rasa, warna dan bau) air, maka airnya tidak dapat digunaka untuk thoharoh.

b. Jika najis tersebut tidak merubah salah satu dari dzat air, sehingga secara adat pun air tersebut masih dianggap sebagai air, maka hukumnya suci mensucikan.

5) Air Sisa Minuman

Air yang tersisa dalam bejana setelah diminum sebagiannya, bukan air yang telah dimasukkan dalam mulut kemudian dikeluarkan.
Kategori air terbagi sebagai berikut:

a.Sisa minuman manusia
Air ini suci dan mensucikan. Tidak ada perbedaaan antara sisa minuman muslim, kafir, haid dsb.
Dasar hukum :
Hadis yang diterima dari Aisyah binti Abu Bakar dijelaskan bahwa Nabi SAW pernah minum sisa minum Aisyah pada waktu Aisyah dalam keadaan haid (HR. Muslim)
b.Sisa minuman keledai dan binatang buas
Ulama fikih memperbolehkan bersuci dengan air sisa minuman keledai dan binatang buas.
Dasar hukum:
Hadis yang diterima dari Jabir bin Abdullah: ”Rasulullah SAW ditanya seseorang tentang hukum berwudu dengan air sisa minuman keledai. Nabi menjawab: “Ya (boleh) menggunakannya untuk berwudu dan demikian juga sisa minuman binatang buas.” (HR. asy-syafi’i dan ad-daruqutni)
c.Air sisa minuman kucing
Air sisa minum kucing juga suci dan mensucikan.
Dasar hukum:
Dalam sebuah hadis yang panjang dinyatakan ”Sesungguhnya sisa minuman kucing itu bukan najis. Ia termasuk binatang yang berkeliaran di lingkunganmu” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i dan at-Tirmizi).
Pada hadis lain diterangkan bahwa Aisyah binti Abu Bakar pernah menyodorkan bejana kepada kucing sehingga kucing itu meminum dari dalam bejana, kemudian Nabi SAW berwudhu dengan sisanya (HR. Ad- Daruqutni)
d.Air sisa minuman anjing dan babi
Fukaha sepakat mengatakan bahwa air sisa minuman kedua jenis binatang tersebut adalah najis yang wajib dijauhi.
Dasar hukum:
Apabila anjing meminum air pada bejana salah seorang diantara kamu, maka hendaklah ia membasuh bejana itu tujuh kali dan salah satu diantaranya dengan tanah. (HR. Al-bukhari). Sedangkan kenajisan air sisa minuman babi adalah karena kekotorannya melebihi anjing.

Tambahan:
-Air Musyammas yaitu air yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makhruh untuk digunakan.
Mis : air yang bertempat di logam yang bukan emas dan terkena panas matahari.
-Air yang didapat dengan mencuri (Ghosob). Meskipun suci lagi mensucikan tetapi haram untuk digunakan.

D. Hukum-Hukum Bejana

I. Kaidah Umum
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يرد دليل بالمنع

."Segala sesuatu itu halal hukumya (boleh digunakan) kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Maksud kaidah diatas bahwa semua benda adalah suci (tidak najis) kecuali ada keterangan dari Al-Qur'an maupun hadist yang menunjukan haramnya sesuatu benda. Dengan demikian benda yang haram sedikit sekali dibanding benda yang halal.


II. Peralatan Makan Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak

Jenis yang terbuat dari emas dan perak hukumnya haram menurut kesepakatan ulama dan umat Islam. Seperti yang dinyatakan dalam sebuah hadist:

لاَ تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ

“Jangan minum di gelas yang terbuat dari emas perak, dan jangan pula makan dari piring yang terbuat dari emas perak. Karena keduanya bagi orang kafir di dunia sedangkan bagi kalian (mempergunakanya kelak) di akhirat. (HR. Bukhari Muslim)
الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dari gelas perak, sesungguhnya dia menumpahkan api neraka ke dalam perutnya.” (Bukhari Muslim dari riwayat Ummu Salamah)

Begitu pula perabotan selain peralatan makan, seperti hiasan dinding (kecuali di masjd), atau barang hiasan di ruang tamu dll, hukumnya dari beberapa pendapat yang ada adalah haram karena adanya ‘ilat (sebab terjadinya ketetapan hukum) keumuman maksud hadist diatas yang berbunyi:
فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا

“Karena hal itu bagi mereka (golongan kafir)..”

Peralatan makan selain mas dan perak seperti besi, tembaga dll boleh digunakan.


III. Peralatan Makan Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak

Boleh mengunakan bejana (tempat air), piring atau sendok yang ditambal dengan perak. Dengan syarat tembalan itu hanya sedikit dan menurut kebutuhan saja.
Hal ini berlandaskan hadist:
أن قدح النبي صلى الله عليه وسلم انكسر فاتخذ مكان الشعب سلسلة من فضة

“Bahwa gelas Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam pernah retak, lalu beliau menambalnya dengan perak di bagian yang retak itu.” (HR. Bukhari)

IV. Hukum Menggunakan Peralatan Makan Non Muslim

Para ulama sepakat bolehnya menggunakan peralatan makan minum milik non muslim begitu pula bajunya selama diketahui bahwa benda tersebut suci (tidak terkena najis).
Sedangkan jika yakin bahwa benda tersebut terkena najis maka dengan sendirinya benda-benda tersebut haram untuk digunakan sebelum disucikan terlebih dahulu.
Setidaknya perlu diperhatikan dua hal:

1. Bahwa peralatan makan dari golongan Yahudi adalah suci, karena agama mereka menganggap bangkai (bangkai termasuk benda najis) itu najis.
Hal ini berdasarkan riwayat Ahmad, bahwasanya Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam pernah dikunjungi seorang tamu orang yahudi dengan membawa roti dan minyak yang berbau busuk yang diberikan kepada beliau dan Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam menerimanya.

2. Peralatan makan milik non muslim yang menganggap halal bangkai, seperti majusi (penyembah api; ada juga sebagian dari sekte agama hindu), sebagian orang nasrani. Dianggap najis, sedangkan perabotan yang tidak sama sekali dipakai oleh mereka dianggap tidak najis. Hal ini didasarkan pada sebuah hadist:
“ Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Sholallohu 'alaihi wa sallam, “ Wahai Rasulullah, kami pernah berada di daerah ahlul kitab, apakah kami boleh makan menggunakan peralatan mereka? Beliau menjawab: Janganlah kalian makan menggunakan peralatan mereka, kecuali kalian tidak menemukan peralatan lainnya. Walaupun demikian, hendaknya kalian mencucinya selanjutnya makanlah dengan peralatan itu.” (HR. Bukhari Muslim)

Peralatan Makan Non Muslim Jika Tidak Diketahui Najis Atau Tidaknya

Ada beberapa pendapat mengenai kasus ini yaitu:

1. Boleh menggunakannya dan ini menurut mayoritas ulama
2. Haram menggunakannya yang merupakan pendapat Imam Ahmad dan Ishak
3. Makruh menurut pandangan mahzab Imam Syafi’i dan satu riwayat dari Abu Hanifah

Pandangan diatas sebenarnya saling menguatkan artinya keyakinan kita yang menjadi landasan utama. Jika kita yakin bahwa peralatan makan itu telah dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai seperti misalnya restaurant, maka peralatan itu boleh digunakan.
Namun ketika kita yakin bahwa peralatan itu telah dicuci namun alat masaknya misalnya telah tercampur benda haram , seperti halnya makanan yang dimasak menggunakan Ang Cuy, Wine dll makan dengan sendirinya makanan itu telah haram meskipun piringnya tidak najis. Dengan demikian Sertifikat Halal MUI menjadi prioritas dalam memilih restaurant.

E. Benda-Benda Najis

Benda-benda yang tergolong najis diantaranya:

1) sesuatu yang keluar dari salah satu dari dua jalan yaitu dari qubul dan dubur, seperti:

• Tinja (kotoran/ tahi)

Abdulloh bin Mas’ud berkata tentang cara istinja’ Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam:
وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ: "إِنَّهَا رِجْسٌ".

"beliau Sholallohu 'alaihi wa sallam membuang tinja (kering) dan beliau bersabda: sesungguhnya itu adalah najis". (HR. Muslim: 156)

• Air kencing

Anas bin Malik ra berkata:
جَاءَ أعْرَابيّ فَبَاَلَ في طَائِفَةِ المَسْجدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ، فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا قَضَى بَولَهُ، أمَرَ النبي صلى الله عليه وسلم بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فأهْرِيقَ عَلَيْهِ.
"Seorang Arab badui berdiri dan buang air kecil didalas masjid. Maka orang-orang mencelanya, lalu Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam melarang mereka, ketika selesai kencinya, Nabi Sholallohu 'alaihi wa sallam menyuruh dengan satu ember air untuk menyiram air kecil tersebut…". (HR. Bukhori:220 dan Muslim: 283)

• Madzi (cairan encer akibat rangsangan sahwat yang keluar dengan tidak sengaja)

• Wadi (cairan putih encer setelah selesai buang air kecil atau saat mengalami kecapaian)

Ali bin Abi Tholib ra berkata:
فَأمَرْتُ المِقْدادَ بْنِ الأسْوَد إِلَى النَّبِيِّ فَسَأَلَهُ عَنِ المَذِيِّ يَخْرُجُ مِنَ الإِنْسَانِ كَيْفَ يَفْعَلُ بِهِ؟، فَقَاَل : "تَوَضأ وَاْنضَحْ فَرْجَكَ" .
"Kami mengutus miqdad bin Aswad kepada Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam untuk menanyakan tentang madzi yang keluar dari manusia, apa yang harus diperbuat? Beliau menjawab: Wudhulah dan bersihkan kemaluannya". (HR. Muslim:303,19)

• Darah Haid dan Nifas

Asma’ binti Abu Bakar ra berkata:

"Seorang wanita bertanya kepada Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam: Ya Rosulalloh, apa pendapatmu apabila salah seorang kami darah haidnya mengenai baju, apa yang harus dilakukan? Rosululloh Sholallohu 'alaihi wa sallam menjawab: apabila darah haid mengenai baju, maka keriklah kemudian bersihkanlah dengan air kemudian baru gunakan untuk sholat". (HR. Bukhori: 307 dan Muslim: 29)

2) Kulit bangkai (akan tetapi boleh memanfaatkannya apabila sudah disamak/ dikeringkan)

Abdulloh bin Abbas ra berkata: aku mendengar Rosulalloh Sholallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ".

"Apabila kulit bangkai telah didibagh, maka ia telah suci". (HR.Bukhori dan Muslim)
Dan dibolehkan pakaian-pakaian orang-orang kafir, bila tidak diketahui bahwa itu najis, karena hukum asalnya adalah suci, sehingga tidak hilang dengan keragu-raguan, dan dibolehkan kain-kain yang mereka tenun atau celup, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya memakai pakaian yang ditenun dan dicelup oleh orang-orang kafir.

Wallahu ‘Alam.

0 komentar:

Posting Komentar

Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !

 
.::_Alumni STIBA Makassar_::.
© Sekretariat : Jl. Inspeksi PAM Manggala Makassar 90234 HP. (085 236 498 102) E-mail:alumni.stiba.mks@gmail.com |(5M) |Mu'min |Mushlih |Mujahid |Muta'awin |Mutqin