Kaidah Keenam
Tidak ada istiqomah kecuali hanya untuk Allah, bersama Allah dan berjalan di atas perintah Allah.
Adapun yang pertama maksudnya yaitu, hanya untuk Allah, maknanya adalah ikhlas karena mengharap wajah Allah dengan makna lain seorang hamba beristiqomah dan berpegang dengan kuat untuk selalu berjalan di atas jalan yang lurus (shiroqthol mustaqim.pent). Ikhlas dengan istiqomahnya karena Allah Azza wa jalla mengharap pahala yang ada di sisiNya dan mengharap keridhoiNya, yang mana Allah Ta'ala telah berfirman:
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus". QS al-Bayyinah: 5.
Kedua: Bersama Allah, maknanya selalu meminta pertolongan dari Allah dalam mencari istiqomah, dalam beristiqomah dan agar bisa teguh di atas keistiqomahannya. Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman:
"Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan". QS Huud: 123.
Allah Ta'ala juga berfirman:
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan". QS al-Fatihah: 5.
Di dalam sebuah hadits yang shahih di sebutkan: "Bersemangatlah untuk mendapat yang bermanfaat bagi dirirmu dan minta pertolonganlah (untuk itu) kepada Allah". HR Muslim no: 2664.
Ketiga: Dan berjalan di atas perintah Allah maknanya adalah hendaknya dalam beristiqomah dia menempuh manhaj (metode) yang benar, yaitu jalan yang lurus (shirothol mustaqim ) yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala perintahkan kepada hambaNya, sebagaimana hal itu termaktub dalam firmanNya:
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu..". QS Huud: 112.
Dan telah lewat atsar dari sebagian ulama salaf tentang penjelasan makna kalimat ini, seperti perkataannya Ibnu Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." QS al-Ahqaaf: 13.
Beliau mengatakan: "Mereka tetap istiqomah di dalam mengerjakan faraidh (kewajiban-kewajiban) yang Allah bebankan kepadanya.
Sedang al-Hasan mengatakan: "Mereka tetap beristiqomah di atas perintah Allah, beramal ketaatan kepadaNya, serta menjauhi segala sesuatu yang di larang olehNya".
Sedangkan makna perintah Allah Ta'ala adalah syari'atNya yang dengannya Allah mengutus NabiNya yang mulia yaitu syari'at yang di bawa oleh Nabi Muhammad Sholawatullah wa salam 'alaihi.
Kaidah Ketujuh
Bagi seorang muslim walupun sudah dapat beristiqomah namun jangan sampai bersandar kepada amalannya.
Sebesar apapun dan sebaik apapun istiqomah yang ditelah di miliki oleh seorang muslim maka jangan sampai dia menyandarkan pada amalanya serta tertipu dengan ibadahnya, tidak pula dengan banyaknya dzikir yang keluar dari bibirnya, serta ketaatan-ketaatan yang lainnya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Qoyyim menegaskan, "Yang di tuntut dari seorang hamba dalam masalah istiqomah adalah mendekatinya (walaupun tidak bisa) seratus persen untuk bertepatan dengan istiqomah dalam segala sisi, maka jika tidak mampu untuk istiqomah setidaknya dia bisa lebih mendekati istiqomah. Sehingga jika itu juga sudah tidak mampu lagi maka yang ada adalah tafrith (kurang) dan idho'ah (menyia-nyiakan), hal itu sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari haditsnya Aisyah semoga Allah meridhoinya dari Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda, "Berusahalah agar (sesuai dengan) sunah, mendekatlah jika (tidak mampu mengerjakan seluruhnya) dan berilah kabar gembira (pada orang lain), sesungguhnya tidak ada seorangpun yang akan masuk surga dengan sebab amalannya". Maka di katakan kepada Rasulallah: "Tidak pula engkau wahai Rasulallah? Beliau menjawab, "Tidak pula saya, kecuali bahwa Allah telah mengampuni saya dengan ampunanNya dan rahmatNya". HR Bukhari no: 6467, Muslim no: 2818.
Dalam hadits yang mulia ini telah terkumpul dan tercakup di dalamnya kedudukan agama secara sempurna, di dalamnya ada perintah agar beristiqomah yaitu berusaha (untuk selalu sesuai dengan sunah) dan berusaha agar amalannya baik itu niat maupun perkataan serta amalan perbuatannya tepat dan sesuai dengan sunah, dan telah datang hadits yang shahih dari haditsnya Tsauban: "Istiqomahlah kalian dan janganlah menghitung-hitung (amalan kalian), dan beramallah sesungguhnya amalan yang paling baik yang kalian kerjakan adalah sholat". Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa mereka tidak akan sanggup untuk beristiqomah secara sempurna sehingga ketika keadaannya sudah demikian maka di anjurkan supaya mereka lebih mendekati dalam beristiqomah yaitu berusaha agar dia bisa beristiqomah sesuai dengan kadar kemampuannya. Seperti halnya orang yang sedang melempar sesuatu kesebuah lubang (sasaran.pent) jika dia tidak bisa memasukan tepat kelubangnya maka lebih dekat dengan sasaran itu lebih baik baginya. Namun dengan ini semua Nabi mengkhabarkan bahwa walaupun mereka sudah berusaha untuk selalu istiqomah dan ketika tidak sanggup mereka berusaha untuk lebih dekat dengan istiqomah namnun semua itu tidak bisa menyelamatan mereka pada hari kiamat. Oleh karena itu jangan sampai ada seseorangp yang bersandar dengan amalannya merasa bangga dengan amal perbuatannya, jangan berfikir bahwa dia akan selamat dengan sebab amalannya namun dia akan selamat dengan sebab rahmat Allah Tabaraka wa Ta'ala, ampunanNya dan keutamaanNya".[1]
Kaidah Kedelapan
Buah dari istiqomah di dunia adalah bisa istiqomah ketika meniti shirot (jalan) pada hari kiamat nanti.
Siapa yang telah di beri hidayah (petunjuk) untuk meniti shirothol mustaqim (jalan yang lurus) yaitu jalannya Allah Azza wa jalla di dunia ini maka dia akan di beri hidayah di kampung akhirat nanti ketika sedang menyebrangi shirot yang di bawahnya adalah neraka jahanam. Maka pada hari kiamat seseorang akan berjalan melewati shiroth yang telah di bentangkan di atas neraka jahanam yang mana dia lebih tajam dari pada mata pedang dan lebih lembut dari pada rambut.
Setiap manusia di perintahkan untuk melewati shiroth (titian) ini, namun pada akhirnya setiap orang saling berbeda-beda di dalam cara melewatinya sesuai dengan kadar amal perbuatannya ketika masih di dunia, demikian pula sesuai dengan keistiqomahanya dalam menempuh shirothol mustaqim pada kehidupannya di dunia.
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan, "Barangsiapa yang telah diberi hidayah (petunjuk) di dunia ini kepada shirothol mustaqim (jalan yang lurus) oleh Allah Azza wa jalla yang mana Allah Ta'ala telah mengutus para rasulNya dengannya dan menurunkan bersama mereka kitab-kitabNya, dengan sebab itu dia akan diberi hidayah ketika meniti shiroth yang akan mengantarkan kepada surgaNya dan negeri balasan. Namun ketetapan seorang hamba di atas shiroth (jalan yang lurus) ini yang mana di bentangkan oleh Allah Azza wa jalla di dunia akan menjadikan tetapnya dia ketika melewati shiroth yang berada di atas neraka jahanam di akhirat nanti sesuai dengan kadar amalannya, dan seberapa besar ia didalam (menempuh) pada jalan yang lurus ini (ketika didunia) maka begitu pula kadarnya ketika melewati shiroth di akhirat nanti sehingga di antara mereka ada yang melewatinya secepat kilat, di antara mereka ada yang melewatinya seperti kedipan mata, di antara mereka ada yang melewatinya secepat angin, ada yang seperti orang yang naik kendaraan, ada yang seperti orang yang berlari, ada yang seperti orang yang berjalan kaki, dan ada di antara mereka yang merangkak, ada yang tersambar oleh api neraka dan ada yang terjatuh kedalamnya, maka seorang hamba dalam melewati shiroth sesuai kadar ia di dalam menjalani shirotol mustaqim sebagai balasan yang setimpal, Allah Ta'ala berfirman:
"Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan". QS an-Naml: 90.
Perhatikan serta berhati-hatilah terhadap syubhat (kerancuan.pent) dan syahwat (hafa nafsu) yang akan memalingkan dari jalan yang lurus ini, maka sesungguhnya shiroth adalah (seperti) besi bengkok yang akan menjauhkan dari shiroth tersebut kemudian ia tersambar oleh api neraka, dan terhalangi untuk melewatinya, walaupun demikian Allah berfirman:
"Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya". QS Fushilat: 46.[2]
Dalam kesempatan yang lain beliau menegeskan: "Barangsiapa yang dalam kehidupan di dunia ini telah tersambar fitnah syubhat serta syahwat (sehingga) berpaling dari jalan yang lurus, maka dia akan tersambar oleh jilatan api mana kala melewati shiroth pada hari kiamat nanti seperti halnya dia tersambar oleh (fitnah) syubhat dan syahwat didunia, dan pada tempatnya ada pembahasan yang lain dalam kitab ini (al-Jawabul kaafii)".[3]
Kaidah Kesembilan
Pencegah untuk istiqomah adalah syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang melalaikan
Segala macam bentuk syubhat (kerancuan.pent) dan syahwat (hawa nafsu.pent) maka keduanya adalah pencegah serta pemutus yang dapat menghadang seseorang untuk selalu bisa istiqomah. Seorang yang sedang berjalan menempuh jalan yang lurus, yang mana di dalam perjalanannya tersebut (tanpa sadar) dia terus menerus (terjatuh) di dalam fitnah syubhat dan syahwat yang memalingkannya dari jalan yang lurus (maka dirinya akan terpalingkan) jauh dari jalan yang lurus .
Maka setiap orang yang telah melenceng dari istiqomah (dan dari jalan yang lurus), itu semua tidak bisa terlepas dari dua perkara ini, baik itu di sebabkan oleh fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Dengan syahwat dia akan merusak amalan yang telah di kerjakan, sedangkan dengan sebab fitnah syubhat maka dia akan merusak ilmunya.
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya". QS al-An'am: 153.
Telah tetap di dalam sebuah hadits dari Abdillah bin Mas'ud semoga Allah meridhoinya yang di riwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Mas'ud mengatakan: "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah menggaris (di hadapan) kami sebuah garis yang lurus, kemudian Rasulullah mengatakan: "Ini adalah jalannya Allah", lalu beliau menggaris garis-garis (yang lain) di samping kiri dan kanannya. Kemudian mengatakan: "Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya", beliau lalu membaca firman Allah Ta'ala:
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya". QS al-An'am: 153. HR Ahmad no: 4142.
Oleh karena itu setan yang mengajak manusia untuk berpaling dari jalan Allah Ta'ala yang lurus, maka ajakannya tersebut tidak lepas dari syubhat (kerancuan dan kesamaran) yang telah di tebarkan oleh setan serta syahwat yang melalaikan.
Maka jika setan melihat ada seseorang yang sedang dalam keadaan lalai (melampaui batas) maka setan jadikan dirinya cinta dengan hawa nafsu yang ada, namun jika setan mengetahui bahwa dirinya dalam kondisi yang fit, semangat serta selalu menjaga keistiqomahannya maka dirinya dijerumuskan kedalam keraguan serta kesamaran di dalam beragamanya. Sebagaimana yang di katakan oleh sebagian ulama salaf: "Tidaklah Allah memerintahkan kepada hambaNya sebuah perintah kecuali ada dua cara bagi setan untuk menggoda bani adam, adakalanya (supaya) mereka melalaikan serta meremehkan (pada perintah tersebut), dan adakalanya diantarkan mereka sampai (batas) yang tidak wajar sehingga mereka ghuluw (berlebih-lebihan.pent). maka dengan dua hal inilah setan menghasut anak cucu Adam dan setan tidak peduli dengan mana dari keduanya ia tancapkan kuku-kukunya kepada anak cucu Adam".
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan: "Sungguh kebanyakan manusia, mereka tidak sanggup untuk bisa melewati dua lembah ini (dua perkara ini.pent) kecuali sedikit sekali diantara mereka yang bisa selamat. Lembah yang pertama yaitu lembah (bersikap) meremehkan dan yang kedua yaitu lembah (bersikap) berlebih-lebihan serta melampaui batas. Dan sangat sedikit sekali di antara mereka yang bisa tetap teguh di atas jalan yang lurus (yaitu jalan) sebagaimana yang telah di tempuh oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya".[4]
Di sini saya akan nukilkan sebuah contoh yang sangat agung serta besar faidahnya, bahkan contoh ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berfaidah bagi kita semua. Sebagaimana telah shahih di dalam Musnad Imam Ahmad dan dalam Sunan Imam Tirmidzi dan selain keduanya yang di riwayatkan dari Nawaas bin Sam'an semoga Allah meridhoinya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala telah memberi sebuah permisalan bagi jalanNya yang lurus, maka pada samping kiri dan kanannya ada dua tembok (yang) masing-masing memiliki pintu yang terbuka (hanya) tertutupi oleh penutup (korden.pent). maka di depan pintu shiroth (jalannya Allah yang lurus) ada penyerunya sambil mengatakan: "Wahai sekalian manusia masuklah kalian semua kejalannya Allah yang lurus jangan berbelok-belok". Dan ada pula yang menyeru di atas shiroth yang mana kala (manusia) akan mencoba untuk membuka (dua pintu) yang ada di kanan dan kirinya (shiroth) maka di seru kepadanya: "Celakalah kamu, jangan coba (untuk) sekali-kali membukanya! Sesungguhnya jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya". Maka (perumpamaan) shiroth adalah Islam sedangkan suuroon (dua tembok.pent) adalah batasan-batasannya Allah sedangkan pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangannya Allah. (Adapun) penyeru yang berada di depan shirot adalah kitabullah sedangkan penyeru yang berada di atas shiroth adalah perasaan (yang akan mencegah) dalam hati setiap muslim". HR Ahmad 17634, Trimidzi no: 2859, di shahihkan oleh al-Hakim 1/144 dan di setujui oleh adz-Dzahabi, dan di shahihkan pula oleh al-Albani dalam shahihul Jami no: 3887.
Perhatikanlah perumpamaan di atas niscaya Allah akan memberi manfaat kepadamu, Allah Ta'ala telah memberi sebuah permisalan akan jalanNya yang lurus, yang mana pada kiri kanannya terdapat suuraan (dua tembok.pent), yang kalau di gambarkan maka engkau sedang berjalan di sebuah jalan yang lurus sedangkan disisi kananmu ada tembok demikian pula di sisi kirimu pun ada tembok, dan pada tembok teersebut ada pintu-pintu yang sangat banyak yang engkau lewati di sisi kiri dan kananmu. Ada pun pintu-pintu ini hanya tertutupi tirai (yang mudah sekali untuk disingkap), sebagaimana kamu ketahui bahwa pintu kalau hanya tertutupi oleh tirai tidak seperti pintu yang memiliki daun pintu, pintu itu sangat mudah sekali bagi dirimu untuk memasukinya dan tidak ada yang menghalanginya sama sekali. Seorang muslim yang jujur dan istiqomah jika dirinya menginginkan untuk masuk pada pintu syahwat maka akan ia dapati bahwa hatinya akan menolak serta berontak, tidak merasa tenang dan tentram, maka inilah teguran dari Allah yang ada pada hati setiap muslim.
Dan yang menjadi penguat dalam hadits di atas adalah bahwasannya pada sisi kiri dan kanan jalan istiqomah tersebut ada pintu-pintu yang akan mengeluarkan seorang manusia dari jalan istiqomah, dan pintu-pintu tersebut semuanya kembali pada dua perkara, mungkin ke syubhat (kesamaran dan keraguan) dan yang kedua adalah ke hawa nafsu.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Allah Subhanahu wa ta'ala telah membentangkan jembatan yang akan di lewati oleh setiap orang menuju syurga, dan diciptakannya api yang menjulur-julur yang akan menyambar setiap orang sesuai dengan amalanya (ketika di dunia), demikian juga api kebatilan yang menjulur-julur dari syubhat serta kesesatan, adapun syahwat (hawa nafsu) yang melalaikan pelakunya akan mencegah orang yang melakukannya dari istiqomah dan dari jalan kebenaran serta (ketika) menempuh di jalan kebenaran, dan orang yang di jaga maka dialah yang telah di jaga (dan di selamatkan) oleh Allah Ta'ala".[5]
Dan seorang hamba pada keadaan seperti ini (masalah istiqomah) membutuhkan dua hidayah agar bisa selamat di dalam perjalanannya yaitu hidayah kepada jalan yang lurus serta hidayah ketika menempuh di jalan yang lurus tersebut.
Imam Ibnu Qoyyim menegaskan hal ini dengan mengatakan, "Maka (meminta) hidayah menuju shirothol mustaqim (jalan yang lurus) adalah perkara yang lain sedangkan hidayah di dalam menempuh jalan yang lurus tersebut adalah sesuatu yang lain, tidaklah kamu ketahui bahwa seseorang yang telah mengetahui bahwa ada jalan fulan pada sebuah kota adalah jalan yang sifatnya begini dan begitu, akan tetapi tidak mungkin bisa (melewati dengan) benar pada jalan tersebut, karena (ketika ingin) berjalan melewatinya membutuhkan petunjuk khusus pada jalan tersebut, seperti (harus) berjalan pada waktu tertentu (yang) tidak bisa di lewati pada waktu tertentu, membawa air sesuai dengan ukuran perjalanan yang akan di tempuh, berhenti pada tempat tertentu, (ini hanyalah permisalan) tentang petunjuk (yang dibutuhkan) pada sebuah perjalanan yang terkadang dilupakan oleh orang bahkan oleh orang yang paham akan jalan tersebut sehingga dia binasa tidak sampai pada tujuan".[6]
Kaidah Kesepuluh
Tasyabbuh (menyerupai.pent) dengan orang-orang kafir termasuk perkara terbesar yang bisa memalingkan dari istiqomah
Adapun tasyabuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir kembali pada dua perkara yang di sebabkan oleh kerusakan adakalanya karena ilmunya yang tidak benar atau adakalanya karena amalannya yang tidak sesuai (dan semua itu disebabkana oleh kerusakan).
Maka perhatikan makna kalimat ini yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala:
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (nashrani). QS al-Fatihah: 6-7.
Maka kerusakan serta penyelewengan kaum yahudi adalah di karenakan rusaknya di dalam mengamalkan agamanya, karena mereka berilmu namun tidak mau mengamalkan ilmunya. Sedangkan kerusakan yang timbul di antara nashrani adalah di karenakan rusaknya ilmu mereka, mereka beramal tanpa disertai dengan ilmu yang mumpuni.
Sedangkan kerusakan yang timbul dalam pembahasan kita adalah adakalanya (tidak bisa terlepas) mungkin di karenakan menyerupai yahudi di mana seseorang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkannya, atau kemungkinan yang kedua adalah menyerupai nashrani yang mana mereka beramal namun tidak di sertai dengan ilmu dan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menamakan mereka di dalam bukunya yang berjudul "Iqtidho shirothol mustaqim mukholifata ashabal jahim" dan telah mengisyaratkan dalam bukunya tersebut beberapa perkara yang berkaitan dengan kebiasaan ahlu kitab (yahudi dan nashrani) yang sudah mempengaruhi umat ini. Sedangkan bagi seorang muslim maka hendaknya dia berpaling jauh-jauh dari tasyabuh dengan orang-orang kafir agar tidak melenceng dari jalan yang lurus sehingga ketika melenceng darinya dia akan berjalan di atas jalan yang dimurkai oleh Allah atau jalan yang sesat. Sebagaimana telah tergambar dalam firman Allah Ta'ala:
"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran". QS al-Baqarah: 109.
Beliau syaikhul Islam mengatakan: "Maka yahudi dicela di karenakan hasadnya mereka kepada orang-orang yang beriman yang berada di atas petunjuk dan ilmu yang bermanfaat, namun sangat di sayangkan ada sebagian orang yang telah menasabkan dirinya kepada ilmu atau yang lainnya telah terfitnah dengan penyakit hasad ini yang mana pada kenyataannya orang tersebut telah Allah beri petunjuk mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh. Maka merekalah orang-orang yang tercela (dengan penuh kepastian), dan ini dalam permasalahan ini termasuk dalam akhlak yang di murkai oleh Allah Azza wa jalla".[7]
Kemudian beliau menyebutkan di dalam kitabnya tersebut beberapa contoh dari kebiasaan yang termasuk kebiasaan orang-orang yahudi maupun nashrani yang ditiru oleh banyak kaum muslimin, dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan hal itu dalam sabdanya: "Sungguh akan ada orang-orang yang akan mengikuti sunah (perjalanan, kebiasaan) orang-orang sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sampai-sampai kiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun pasti akan ada yang mengikuti mereka". HR Bukhari no: 7320, Muslim no: 2669.
Penutup
Saya tutup risalah ini dengan perkataan yang sangat bagus dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang mana diriwayatkan dari muridnya Ibnu Qoyyim beliau mengatakan: "Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: "Karamah yang paling besar dan agung adalah tetap berpegang teguh dengan istiqomah".[8]
Berkata Syaikhul Islam dalam bukunya "Al-Furqaan baina auliyau ar-Rahman wa auliyau asy-Syaithan" (Pembeda antara wali-wali Allah dan wali-wali setan) , beliau mengatakan: "Adapun puncak dari karamah adalah menetapi istiqomah".[9]
Oleh karena itu Ibnu Qoyyim berkata menukil perkataan sebagian para ulama, beliau mengatakan: "Jadilah sebagai orang yang istiqomah bukan sebagi orang yang mencari-cari karamah, karena sesungguhnya hatimu selalu bergerak (sibuk) ketika dalam pencarian karamah (tersebut) sedangkan Rabbmu memintamu untuk selalu istiqomah".[10]
Maksud dari perkataannya beliau adalah bahwa seorang hamba hendaknya selalu dan selalu selama-lamanya berusaha agar dirinya menetapi di jalannya Allah Ta'ala yang lurus, dan menjaga di atas ketaatan kepadaNya Subhanahu wa ta'ala, bersungguh-sungguh dalam usahanya tersebut sehingga dia bisa memenangi sebesar-besar kemenangan yang ada dan ghonimah yang paling besar yaitu yang tersirat dalam firmanNya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". QS Fushshilat: 30-32.
Allah Ta'ala juga berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. mereka Itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan". QS al-Ahqaaf: 13-14.
Saya memohon kepada Allah yang Maha Mulia Rabb Arys yang agung dengan Nama-namanya yang mulia serta sifat-sifatNya yang tinggi agar menjadikan kita semuanya sebagai orang-orang yang di tetapkan dan beri hidayah untuk selalu berjalan di jalanNya yang lurus, dan menjauhkan kita dari jalan yang di murkaiNya serta jalan yang menyesatkan, memperbaiki urusan kita semuanya, dan memperbaiki agama kita yang menjadi penjaga segala urusan kita, dan memperbaiki dunia kita sebagai tempat kita mencari penghidupan serta memperbaiki akhirat kita sebagai tempat kembali kita semua, dan mudah-mudahan menjadikan hidup ini sebagai (tempat) untuk menambah amal kebaikan kita dan kematian sebagai tempat (istirahat) kita dari segala keburukan.
Shalawat serta salam dan barakah serta nikmah semoga Allah curahkan selalu kepada hamba dan RasulNya Nabi kita Muhammad, keluarga serta para sahabat beliau seluruhnya.
Daftar Isi
Pembukaan
Kaidah pertama:
Istiqomah adalah nikmah serta hadiah ilahiyah
Kaidah kedua:
Hakekat dari istiqomah adalah menetapi manhaj yang tegak luruh serta jalan Allah yang lurus
Kaidah ketiga:
Asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati
Kaidah keempat:
Istiqomah yang dituntut dari seorang hamba adalah bersikap tengah-tengah jika tidak mampu maka lebih dekat dengannya
Kaidah kelima:
Istiqomah itu berkaitan erat dengan perkataan, perbuatan serta niat
Kaidah keenam:
Tidaklah istiqomah itu ada kecuali untuk Allah, bersama Allah dan di atas perintah Allah Azza wa Jalla
Kaidah ketujuh:
Bagiamanapun tingkatan istiqomahnya seseorang jangan sampai dia menyandarkan kepada amalannya
Kaidah kedelapan:
Buah dari istiqomah di dunia adalah istiqomahnya nanti ketika meniti shiroth pada hari kiamat
Kaidah kesembilan:
Pencegah dari istiqomah adalah syubhat-syubhat yang menyesatkan atau hawa nafsu yang melalaikan
Kaidah kesepuluh:
Menyerupai dengan orang-orang kafir adalah termasuk hal terbesar yang dapat memalingkan dari istiqomah
Penutup
[1] . Madaarijus Saalikin 2/105.
[2] . Madaarijus Saalikin 1/10.
[3] . Jawabul kafi 123.
[4] . Ighatsatul lahfaan 1/136.
[5] . Shawa'iqul mursalah 4/1256.
[6] . Risalah Ibnu Qoyim ilaa ahadi ikhwanihi hal: 9.
[7] . Iqtidho shirothol mustaqim 1/83.
[8] . Madarijus Saalikin 2/105.
[9] . Ideem hal: 349.
[10] . Madarijus Saalikin 2/105.
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !