Kita dapat mengaitkan secara ideologi, bahwa gerakan modernisme Islam yang sedang marak saat ini memiliki hubungan erat dengan sekte masa lampau, yaitu Mu’tazilah yang berkembang pada abad ketiga Hijriah. Walaupun sekte ini mengklaim menerima al-Qur’an dan Sunnah, namun mereka gemar melakukan ta’wil (mengintepretasikan dengan makna yang jauh) dan berpandangan bahwa ‘aql lebih didahulukan ketimbang naql (wahyu). Pada akhirnya, sekte ini pun memudar. Gerakan modernisme Islam di zaman ini, bukanlah berevolusi dari mu’tazilah, namun keduanya memiliki prinsip yang serupa dan mirip.
Apabila dijejak, sebenarnya gerakan modernisme ini berasal dari Eropa abad pertengahan, zaman dimana metodologi saintifis mulai berkembang di Spanyol dan berpandangan bahwa apa yang diajarkan gereja tidaklah benar secara saintifis. Hal inilah yang memicu awal terjadinya revolusi. Pandangan dasar kaum modernisme terhadap semua agama adalah “agama dapat berubah-ubah menurut situasi dan kondisi serta tidak permanen dan kebenaran absolut itu tidak ada.”
Kaum modernis Yahudi dan Nasrani, berupaya menunjukkan bahwa agama masih relevan dengan manusia. Akhirnya mereka pun membuat-buat inovasi (bid’ah) di dalam agama agar manusia tetap tertarik dengan agama. Seperti ritual menyanyi di Gereja yang diperkenalkan pada tahun 1900-an. Mereka berupaya menyatakan bahwa ketuhanan (divinitas) dan manusia dapat dicampur di dalam injil (Bible), dan bahwa bagian yang benar di dalamnya haruslah tidak ketinggalan zaman (out of date). Mereka juga berpandangan bahwa agama senantiasa berubah seiring dengan perubahan zaman dan tidak ada kebenaran mutlak (absolut) di dalam Bible.
Pada zaman tersebutlah, banyak orang Islam yang berinteraksi dan belajar di Eropa. Hal ini menyebabkan mereka harus memilih diantara tiga hal : menerima konsep barat, menolaknya atau mencampurnya (reformasi Islam). Mereka yang menerima cara ketiga ini, atau yang disebut dengan modernis Islam, mengembangkan dan menfokuskan pemikiran mereka di Turki dan Mesir. Di Turki sebab negara ini di bawah pengaruh Inggris, dan di Mesir sebab Al-Azhar merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam. Orang-orang di dalam gerakan modernisme ini lah yang menilai Islam berdasarkan akal mereka. Beberapa kesalahan mereka dalam hal ini adalah :
Menggunakan akal untuk hal-hal yang tidak dapat dinalar/dicerna (masalah ghaibiyah)
Menjadikan akal sebagai acuan, sehingga mereka akan menerima yang selaras dengan akal dan menolaknya yang berlawanan dengan akal.
Menghukumi wahyu dengan akal.
Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meyakini bahwa menggunakan akal yang sehat akan mengarahkan kepada kesimpulan bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi itu adalah benar, sehingga ajarannya harus didahulukan ketimbang akal murni semata.
Kenapa Gudang Modernisme Berada di Barat terutama Amerika?
Kita tidak asing dengan pemikir-pemikir modernisme tanah air jebolan Chicago atau selainnya. Pemikiran-pemikiran mereka lebih cenderung medekonstruksi (merusak) tatanan Islam yang sudah ada dengan alasan rekonstruksi. Kenapa kiblat modernisme ini ke Barat? Menurut DR. Jamal Zarabozo karena mayoritas modernis menyatakan bahwa Barat dan dunia telah berubah menjadi civilized (beradab), dan Islam juga harus ikut ter-civilized. Modernisme lebih banyak menyebar di Barat terutama Amerika disebabkan :
Minimnya tokoh Islam yang membantah mereka, atau mereka memang tidak mau membantahnya karena masyarakat sendiri tidak mau mengkritik mereka.
Amerika mengizinkan muslim dari luar negeri untuk menjadi bagian dari masyarakat Amerika dan mereka tidak harus diakui sebagai muslim.
Banyaknya literatur, para ahli dan institusi di Amerika yang mengajarkan pemikiran modernis
Sebagai contoh, Yusuf Ali. Dia adalah penerjemah terkenal makna al-Qur’an. Padahal dia adalah seorang yang mengingkari apa yang tidak dapat diindera oleh akal (masalah ghaibiyah). Di dalam sebuah buku tentang Sejarah, dinyatakan bahwa Nabi Muhammad itu sebenarnya tidak berbeda dengan manusia lainnya, yaitu tidak ma’shum. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah itu bukanlah syariah dan kadang-kadang kita harus membuang hadits oleh sebab Alloh tidak mengoreksi kesalahan Nabi ketika beliau melakukan ijtihad. Di dalam masalah Fikih, kaum modernis menyatakan bahwa bunga bank itu halal, wanita yang mengalami menstruasi boleh sholat, dan seorang muslimah boleh menikah dengan pria kafir. Mereka juga mengatakan bahwa wajah wanita tidak pernah ditutup sampai 150 tahun setelah zaman Nabi, padahal hal ini sudah ada di zaman beliau. Mereka juga menyatakan bahwa hadits tentang tidak beruntungnya suatu kaum yang dipimpin oleh wanita adalah tidak benar dan tidak dapat diterapkan di zaman ini, juga poligami adalah terlarang. Ironisnya, semua ini mereka lakukan dengan rapi dan terorganisir, dengan segala bentuk media berupa majalah, televisi, konvensi dan literatur.
Kaum modernis, dapat mempengaruhi pemikiran umat dan metode berfikir mereka lah yang paling berbahaya bagi umat. Menurut mereka tidak ada urgensinya mempelajari aqidah sebab akal lah yang menghukumi naql. Mereka juga berupaya menyingkirkan sunnah dan mengatakan bahwa sistem ulama hadits tempo dulu tidak reliable lagi. Mereka menggunakan metodologi kritik ilmuwan nasrani terhadap Bible dan diterapkan kepada hadits dan ijma’ sahabat, dengan dalih studi kritis. Kita sebagai muslim memahami bahwa Nabi diberi petunjuk oleh Alloh dan kita bisa jadi tidak mampu memahami semua di dalam hadits dengan akal kita.
Sudah sering para modernis itu mempertanyakan peran sunnah di dalam syariah. Ada yang berpendapat bahwa sunnah itu urusan dunia bukan agama, walaupun di zaman Nabi sendiri, jadi sunnah itu adalah perkara yang berkaitan dengan musyawarah dan ijtihad. Yang lain berpendapat bahwa kita memerlukan ijtihad sendiri sebab waktu dan tempat telah berubah sehingga sunnah sudah sulit untuk diikuti. Semua ini dilakukan untuk melemahkan sunnah.
Yahudi dan Nasrani berupaya untuk membedakan manusia dari ketuhanan. Sedangkan kaum modernis berupaya untuk menunjukkan perbedaan Rasulullah sebagai seorang manusia biasa dan seorang Nabi. mereka juga menghindar dari mengikuti sunnah dengan membagi kehidupan Nabi menjadi beberapa bagian, sebagai seorang imam, hakim, pemimpin militer, pemimpin spiritual, nabi, dls. yang mana sebagiannya bukanlah merupakan ajaran ketuhanan dan bukanlah wahyu. Beberapa orang bahkan berani menyatakan bahwa setiap orang bebas untuk berijtihad, dan hukum bisa berubah walaupun dari al-Qur’an dan Sunnah.
Kesesatan Kaum Modernis
Ada beberapa hal yang menyebabkan kaum modernis terperosok ke dalam pemikiran dan pemahaman yang menyimpang, bahkan sesat. Berikut ini adalah diantaranya :
Pertama, premis dan asumsi mereka perlu disorot. Modernis melihat kepada dunia Barat dan mencoba untuk menafsirkan kembali (reinterpret) “agama lama” dengan sains modern dan zaman modern. Mereka berasumsi bahwa :
Situasi zaman ini sudah maju atau berbeda (yaitu, bukan di zaman nabi lagi). Perlu diketahui, bahwa ide atau teori tentang kemajuan dan bahwa segala sesuatu adalah lebih baik sekarang merupakan ide Marxian dan Hegelian. Ide ini bertentangan dengan hadits dimana Nabi menjelaskan bahwa tiap generasi akan semakin buruk. Mereka harus membuktikan bahwa sekarang terjadi kemajuan, namun kemajuan dalam hal apa? Materil ataukah moril? Kaum modernis tidak memberikan definisi kemajuan yang dimaksudkan. Menurut Islam, masyarakat yang maju adalah masyarakat yang semakin dekat dengan Alloh, yang memahami dan mengaplikasikan Islam dengan lebih baik, seperti para sahabat. Dan pada realitanya, masyarakat sekarang masih memiliki hal-hal yang demiliki oleh masyarakat zaman dulu (jahiliyah), seperti homoseksual, seks bebas, kriminalitas, dll.
Agama itu relatif tergantung waktu dan tempat, oleh karena itu kita harus menilai Islam berdasarkan “sains modern”. Modernis mengklaim Barat sebagai ahli sains dan untuk itu Islam dinilai menurut kesesuaiannya dengan sains modern. Mereka mengira bahwa Barat adalah masyarakat yang dibangun di atas sains, namun mereka gagal memperhatikan bahwa tidak semua sains yang dikemukakan Barat itu berdasarkan fakta. Bahkan, pada realitanya, banyak sains yang diklaim oleh Barat ternyata tidak lebih dari sebuah hipotesis yang belum teruji dan terbuktikan, namun hanya sekedar klaim dan manipulasi publik dengan retorika ilmiah. Bahkan sebagiannya lagi hanyalah sekedar mitos belaka. Selain itu, perlu diketahui bahwa setiap sains itu memiliki filosofinya sendiri-sendiri, yang akan mengarah kepada kesimpulan masing-masing. Intinya, teori sains yang dikemukakan itu bukanlah kebenaran, lantas bagaimana bisa digunakan untuk menilai agama?!
Cara berfikir sebuah masyarakat adalah berdasarkan lingkungannya, atau dengan kata lain cara berfikir masyarakat adalah produk dari lingkungannya. Kaum modernis menyatakan bahwa mayoritas agama berasal dari masyarakat dan lingkungannya, dan hal ini dapat dinilai di waktu kemudian. Oleh karena itu, hadits sangat tergantung hanya pada zamannya. Tidak ada bukti bagi hipotesis kaum modernis ini bahwa kebenaran agama itu relatif. Alloh sendiri menyatakan dengan tegas bahwa al-Qur’an itu adalah al-Haq (kebenaran) yang lâ royba fîha (tidak ada keraguan di dalamnya), sedangkan kaum modernis menyatakan jika al-Qur’an tidak benar sekarang, maka al-Qur’an tidak pernah benar.
Kedua, metodologi yang mereka gunakan adalah keliru. Metodologi kaum modernis, adalah cara mereka menyesatkan orang kepada kesimpulan yang salah. Mereka mengklaim metodologinya saintifis atau ilmiah, padahal kenyataannya seringkali tidak konsisten, atau tidak berdasar dan memiliki bukti. Diantara teknik dan prinsip yang mereka gunakan termasuk :
Al-Qur’an dan hadits. Mereka mengklaim al-Qur’an itu shahih/otentik dan mereka hanya mau mengikuti hadits otentik. Namun metode mereka di dalam menilai hadits berbeda dari metodologi ulama zaman dahulu yang menilai dengan kriteria ilmu yang kompleks dan metodologinya belum ada tandingannya dari agama manapun. Kaum modernis di dalam menilai keotentikan sebuah hadits hanya menggunakan akal mereka yang terbatas, padahal akal manusia itu berbeda-beda sehingga hasil produknya pun juga berbeda-beda. Oleh karena itu metodologi mereka ini tidak memiliki standar ilmiah dan rancu. Kaum modernis biasanya tidak suka dengan hadits-hadits yang memiliki makna spesifik, dan mereka lebih senang dengan hadits-hadits yang memiliki redaksi umum agar dapat dimultitafsirkan.
Menggunakan hadits-hadits dha’if atau lemah untuk menyokong tujuan dan argumentasi mereka. Hadits yang lemah bisa mereka anggap shahih hanya karena selaras dengan akal dan keinginan mereka.
Gemar menggunakan istilah-istilah yang rancu dan samar tanpa menjelaskan definisinya. Modernis seringkali menggunakan istilah baru seperti demokrasi, kebebasan dan kesetaraan, namun mereka tidak mendefinisikan secara jelas apa maksudnya. Bahayanya menggunakan istilah-istilah yang samar ini adalah, orang yang melemparkan kata atau konsep tersebut, berfikir bahwa mereka memaksudkannya dengan definisi yang diterima padahal kenyataannya tidak, sedangkan orang lain yang mendengarkannya bisa jadi mempercayai bahwa apa yang mereka utarakan itu benar adanya.
Tidak mau membawakan semua informasi yang relevan dan terkait dengan subyek. Mereka hanya membawakan bukti yang mendukung pemahaman mereka saja.
Memaksakan penafsiran mereka terhadap sebuah teks. Inilah yang dahulu dilakukan oleh kaum mu’tazilah, ketika mereka menyatakan bahwa akal lebih didahulukan daripada naql. Kaum modernis acap kali menyatakan Islam itu agama “rasional”. Ini tentu saja benar jika yang dimaksud bahwa segala sesuatunya dari Alloh tidak ada kontradiksi di dalamnya. Namun, jika yang dimaksud adalah kita dapat mempelajari segalanya di Islam dengan menilainya hanya dari akal kita aja, maka ini tidak dapat diterima. Kaum modernis juga sering kali mengatakan untuk mengikuti “ruh” Islam hanya untuk menghindar dari hukum syariat. Mereka menyatakan bahwa tidak apa-apa wanita tidak berhijab, yang penting ruh Islam masih dipegangnya di dalam hatinya. “Untuk apa berhijab fisik sedangkan hati tidak dihijabi?”, ini adalah propaganda kerdil yang sering dikatakan mereka, padahal Islam itu agama sempurna, mengatur masalah lahiriah dan batiniyah, masalah fisik dan hati.
Membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya bagi setiap orang. Padahal ijtihad ada perangkat dan syaratnya, dan tidak semua orang memiliki kapabel untuk berijtihad.
Senang mengikuti pendapat yang ganjil dan tertolak. Mereka tidak segan-segan mempelajari buku-buku para ulama hanya untuk mengambil pendapat-pendapat mereka yang keliru dan ganjil, bukannya mengambil pendapat-pendapat yang selaras dengan al-Qur’an dan sunnah.
Lebih condong mengikuti hawa nafsu di dalam memberikan hukum dan ‘fatwa’ tanpa ada dalil yang kuat. Tidak heran jika kita dapati mereka dengan mudah mengatakan, “musik itu mubah, karena Saya tidak mendapati ada hal yang salah dengannya. Bahkan musik itu menenangkan jiwa dan fikiran. Jikalau musik haram, niscaya dunia ini akan sepi…”. Orang seperti ini tidak menjawab dengan dalil, namun dengan perasaan dan hawa nafsunya.
Sesungguhnya, faham dan pembawa faham modernisme ini sangat berbahaya. Pondasi pemahaman mereka terhadap Islam adalah bias, tidak berdasar dan mengada-ada, bahkan mendestruksi konsep Islam yang sudah mapan dan matang. Maka merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu untuk membentengi diri, keluarga, sahabat dan kaum muslimin lainnya dari faham modernisme yang menyesatkan ini.
[diadaptasi dari Modernisme in Islam karya DR. Jamaludin Zarabozo]
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !