Bulan
Rabiul Awal
Bila bulan
Rab’iul Awal tiba, mayoritas kaum muslimin seakan tak sanggup melupakan sebuah
acara rutin tahunan, warisan nenek moyang, yaitu perayaan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم. Kenapa sampai demikian? Jawabnya
amat mudah, karena memang perayaan maulid ini sudah mendarah daging dan
mengakar di hati mereka. Perayaan ini telah melanda dunia, tak ketinggalan
negeri kita, Indonesia.
Ironisnya,
perayaan ini juga diminati oleh berbagai gerakan dakwah dan kalangan menengah
atas. Bahkan ada juga yang menjadi ‘pejuang-pejuang’ perayaan ini. Wallohu
Musta’an.
Perayaan
peringatan maulid ini bermacam-macam bentuknya. Ada yang hanya sekedar
berkumpul dan membacakan kisah maulid (kelahiran) Nabi صلى الله عليه وسلم, qasidah, dan ceramah agama. Ada
yang membuat makanan serta sejenisnya untuk para hadirin. Ada yang merayakannya
di masjid, langgar/surau dan ada yang di rumah.
Dan ada juga
yang tak cukup hanya demikian, mereka meramaikan perayaan maulid ini dengan
dibumbui keharaman dan kemungkaran. Seperti, ikhtilath (campur-baur)
antara pria dan wanita, joget, dan menyanyi, bahkan syirik, semisal meminta
pertolongan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم.”[1]
Masalah
perayaan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan polemik besar di kalangan kaum muslimin. Namun
yang perlu dicatat bagi setiap muslim adalah hendaknya kita semua menjadikan
Al-Qur’an dan Sunnah sebagai hakim setiap perselisihan bila memang kita
menghendaki kebenaran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
(QS. An-Nisa’[4]: 59)
Sejarah
Perayaan Maulid Nabi
Ketahuilah
wahai saudaraku -semoga Alloh عزّوجلّ
memberi pemahaman kepadamu- bahwa perayaan maulid Nabi tidaklah dikenal di
zaman Nabi صلى الله عليه وسلم,
para sahabat, para tabiin dan tabi’ut tabiin. Dan tidak dikenal oleh Imam-imam
madzhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i sekalipun. Karena memang
perayaan ini adalah perkara baru (baca: bid’ah). Adapun orang yang pertama kali
mengadakannya adalah Bani Ubaid Al-Qaddakh yang menamai diri mereka dengan
“Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H. Dari sinilah kemudian
mulai tumbuh berkembang perayaan maulid secara umum dan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم
secara khusus.
Al-Imam Ahmad
bin Ali Al-Miqrizi -seorang ulama ahli sejarah- mengatakan: “Para khalifah
Fathimiyun mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu
perayaan tahun baru, perayaan Asyura’, perayaan maulid Nabi, maulid Ali bin Abi
Thalib, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah Az-Zahra dan maulid
khalifah. Perayaan awal bulan Rajab, awal Sya’ban, nisfu Sya’ban, awal
Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan penutupan Ramadhan ….”[2]
Mereka adalah
orang-orang dari daulah Ubaidiyyah yang beraqidah Bathiniyyah, merekalah yang
dikatakan oleh imam al-Ghozali asy-Syafi’i رحمه الله: “Mereka menampakkan sebagai orang
rofidhoh syi’ah, padahal sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.” [3]
Pendapat yang mengatakan bahwa Banu Ubaid
tersebut adalah pencetus pertama perayaan maulid ditegaskan oleh al-Maqrizi
dalam al-Khuthoth 1/280, al-Qolqosynadi dalam Shubhul A’sya
3/398, as-Sandubi dalam Tarikh Ihtifal bil Maulid hlm. 69, Muhamad
Bukhait al-Muthi’i dalam Ahsanul Kalam hlm. 44, Ali Fikri dalam Muhadhorot
beliau hlm. 84 serta Ali Mahfudz dalam al-Ibda’ hlm. 126.[4]
Dan orang yang pertama
merayakan bid’ah maulid ini di Iraq Syaikh al-Mushil Umar Muhammad al-Mula pada
abad keenam dan kemudian diikuti oleh a Raja Mudhafir Abu Said Kaukaburi (raja
Irbil) pada abad ketujuh dengan penuh kemegahan!!
Hukum
Perayaan Maulid Nabi
Menghukumi
sesuatu ini boleh atau tidak bukanlah perkara yang amat mudah, tidak boleh bagi
kita untuk gegabah dalam menghukumi, apalagi tentang permasalahan ini yang
menjadi polemik berkepanjangan hingga saat ini. Marilah kita tinggalkan semua
fanatik golongan, hawa nafsu, dan adat yang tidak berdasar. Marilah kita
kembalikan semua permasalahan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Janganlah kita terpedaya dengan
banyaknya orang yang melakukan, karena hal itu bukanlah standar kebenaran.
Setelah kita
mengembalikan masalah ini kepada Al-Qur’an dan Sunnah, ternyata tidak kita
dapati satupun dalil yang menunjukkan disyari’atkannya perayaan ini. Demikian
juga kita tidak mendapati bahwa Nabi, para sahabat dan para ulama/imam salaf
mengadakan perayaan, sehingga jelaslah bagi orang yang hendak mencari kebenaran
dan jauh dari kesombongan bahwa perayaan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم adalah perbuatan yang tertolak.
Sekali lagi, janganlah standar kita adalah kebanyakan orang tetapi jadikan
standar hukum kita adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Ada beberapa argumen yang
menguatkan bathilnya perayaan maulid sebagai berikut:
Pertama:
Seandainya
perayaan maulid ini disyari’atkan, tentu akan dijelaskan oleh Nabi sebelum
wafatnya karena Allah عزّوجلّ
telah menyempurnakan agamaNya.
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ
لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ
فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ
فَإِنَّ اللَّـهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmatKu
dan telah Kuridhai Islam sebagai agamamu. (QS. Al-Maidah[5]: 3)
Imam Ibnu
Katsir asy-Syafi’i رحمه الله berkata: “Ini merupakan kenikmatan Allah yang terbesar
kepada umat ini, dimana Allah عزّوجلّ
telah menyempurnakan agama mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan agama
selainnya dan Nabi selain Nabi mereka. Oleh karena itulah, Allah عزّوجلّ menjadikannya sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya
kepada Jin dan manusia, maka tidak ada sesuatu yang halal selain apa yang
beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang dia haramkan, tidak ada
agama selain apa yang dia syari’atkan, dan setiap apa yang dia beritakan adalah
benar dan jujur, tiada kedustaan di dalamnya”.[5]
Kedua:
Seandainya
perayaan maulid ini merupakan bagian agama yang disyari’atkan tetapi Nabi صلى الله عليه وسلم
tidak
menjelaskannya kepada umat, maka itu berarti Nabi berkhianat. Hal ini tidak
mungkin karena Nabi صلى الله عليه وسلم telah menyampaikan risalah Allah عزّوجلّ dengan amanah dan sempurna
sebagaimana disaksikan oleh umatnya dalam perkumpulan yang besar di Arofah
ketika haji wada’:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ فِيْ قِصَّةِ حَجَّةِ النَّبِيِّ : … وَأَنْتُمْ
تُسْأَلُونَ عَنِّي, فَمَا أَنْتُمْ قَائِلُونَ؟ قَالُوا : نَشْهَدُ أَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ,
وَأَدَّيْتَ, وَنَصَحْتَ, فَقَالَ بِإِصْبِعِهِ السَّبَابَةِ يَرْفَعُهَا إِلَى السَّمَاءِ,
وَيَنْكُتُهَا إِلَى النَّاسِ : اللَّهُمَّ اشْهَدْ, اللَّهُمَّ اشْهَدْ, ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Jabir bin
Abdillah tentang kisah hajinya Nabi (Setelah beliau berkhutbah di Arafah): Nabi
bersabda: “Kalian akan ditanya tentang diriku, lantas apakah jawaban kalian?”
Mereka menjawab: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, menunaikan dan
menasehati.” Lalu Nabi mengatakan dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit
dan mengisyaratkan kepada manusia: “Ya Alloh, saksikanlah, Ya Alloh
saksikanlah, sebanyak tiga kali.” (HR. Muslim 1218)
Ketiga:
Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka tertolak.”
(HR. Muslim 3243)
Hadits ini dan
yang semakna dengannya menunjukkan tercelanya bid’ah dalam agama sekalipun
dianggap baik oleh manusia. Dan perayaan maulid termasuk perkara yang bid’ah
dalam agama karena tidak pernah dicontohkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dan para sahabatnya.
Imam Abu Hafsh
Tajuddin Al-Fakihani رحمه الله berkata, “Amma ba’du, banyak muncul pertanyaan dari
saudara-saudara kami tentang perkumpulan yang biasa diamalkan sebagian manusia
pada bulan Rabi’ul Awal, yang mereka namakan dengan maulid. Adakah dalilnya?
Ataukah itu perkara bid’ah dalam agama? Maka saya katakan, “Saya tidak
mengetahui dalil tentang maulid ini baik dari Al-Qur’an maupun Hadits. Tidak
pula dinukil dari seorang pun dari kalangan ulama umat yang merupakan panutan
dalam agama, yaitu orang-orang yang berpegang teguh terhadap ajaran para
pendahulu. Bahkan maulid ini merupakan perkara bid’ah yang dibuat-buat oleh
para pengangguran dan dorongan nafsu syahwat yang dipertuhankan oleh
orang-orang yang buncit perut (suka makan).”[6]
Keempat:
Seandainya
perayaan maulid ini disyari’atkan, niscaya tidak akan ditinggalkan oleh para
sahabat dan para generasi utama yang dipuji oleh Nabi صلى الله عليه وسلم:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ
“Sebaik-baik
manusia adalah masaku.” (HR.Bukhori 3651, Muslim 2533)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah رحمه الله
berkata: “Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia tentang
perayaan hari kelahiran Nabi صلى الله عليه وسلم,
padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak
pernah dikerjakan oleh generasi salaf (Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in) …
dan seandainya hal itu baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada
kita. Karena mereka jauh lebih cinta kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, dan mereka lebih bersemangat dalam
melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya cinta Rasul adalah dengan mengikuti beliau,
menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhahir dan batin,
menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan,
ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin
dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.” [7]
Hal yang sangat
menunjukkan bahwa salaf shalih tidak merayakan perayaan maulid ini adalah
perselisihan mereka tentang penentuan tanggal hari kelahirannya hingga menjadi
tujuh pendapat, yang paling masyhur adalah tanggal 12, kemudian tanggal 8
Rabiul Awal, setelah mereka bersepakat bahwa hari kelahirannya adalah hari
senin dan mayoritas mereka menguatkan bulannya adalah bulan Rabiul awal.
Seandainya pada hari kelahirannya disayari’atkan perayaan ini, niscaya para
sahabat akan menentukan dan perahatian tentang penentuan hari kelahiran Nabi صلى الله عليه وسلم dan tentunya akan menjadi perkara
yang masyhur di kalangan mereka.[8]
Kelima:
Perayaan maulid
Nabi صلى الله عليه وسلم
termasuk
tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Nashara yang merayakan maulid Nabi Isa عليه السلام. Sedangkan menyerupai mereka
hukumnya haram. Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa
menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”[9]
Dari Abu Sa’id
al-Khudri رضي الله عنه
dari Nabi صلى الله عليه وسلم
bersabda:
لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ
حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوْهُمْ قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ
والنَّصَارَى؟ قَالَ فَمَنْ؟
“Sungguh kalian
akan mengikuti sunnah perjalanan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi
sejengkal, sehingga mereka memasuki lubang dhab (hewan sejenis biawak di
Arab).” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apakah mereka Yahudi dan
Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Bukhari 7325
dan Muslim 2669)
Hadits ini
merupakan mukjizat Nabi صلى الله عليه وسلم
karena sungguh mayoritas umatnya ini telah mengikuti sunnah perjalanan kaum
Yahudi dan Nasrani, baik dalam gaya-hidup, berpakaian, syi’ar-syi’ar agama, dan
adat-istiadat. Dan hadits ini lafazhnya berupa khabar yang berarti larangan
mengikuti jalan-jalan selain agama Islam.”[10]
Paraulama
bersepakat tentang wajibnya menyelisihi orang-orang kafir dan haramnya kaum
muslimin menyerupai orang-orang kafir. Salah satu contoh yang menunjukkan perbuatan
meniru orang Nashara adalah perayaan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم. Peringatan ini jelas bid’ahnya dan
menyerupai perayaan Natal yang dilakukan orang Nashara saat mereka memperingati
kelahiran tuhan mereka.[11]
Keenam:
Perayaan maulid
Nabi merupakan wasilah ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Nabi صلى الله عليه وسلم. Sehingga mereka berdo’a dan
memohon pertolongan kepada selain Alloh عزّوجلّ. Sebagaimana terjadi dalam
perayaan-perayaan tersebut. Baik dalam qasidah-qasidah maupun do’a-do’a mereka.
Padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم
sendiri telah bersabda:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا
عَبْدُهُ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ
Janganlah
kalian memujiku sebagaimana kaum Nashara memuji Ibnu Maryam. Aku hanyalah
seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Alloh dan RasulNya. (HR. Bukhari 3445)
Syaikh Al-Imam
Al-Albani رحمه الله
menjelaskan
hadits di atas, “Maksudnya: Janganlah kalian memujiku secara mutlak, sekalipun
pada asal hukumnya adalah boleh, tetapi Nabi صلى الله عليه وسلم melarangnya sebagai saddu
dzari’ah (penutup jalan menuju kebatilan). Karena membuka pintu pujian
seringkali menjurus kepada penyimpangan syari’at sebagaimana kita saksikan
bersama, entah karena kejahilan atau ghuluw. Marilah kita perhatikan ucapan
mereka:
فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَضَرَّتَهَا
وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Sesungguhnya di antara milikmu adalah dunia dan isinya.
Dan di antara ilmumu adalah Ilmu Lauh dan Qalam.
Pujian yang
sangat nampak jelas kesesatannya ini banyak sekali kita dapati dalam
nasyid-nasyid yang konon berlabel/bernuansa Islami. Lihatlah perbuatan kaum
muslimin hari ini yang mensifati Nabi صلى الله عليه وسلم dalam acara-acara maulid serta
lainnya, yang tidak dikenal oleh generasi salaf. Seperti perkataan mereka: “Nabi صلى الله عليه وسلم adalah nur fauqa nur (cahaya di atas cahaya), makhluk
pertama…,” dan kalimat batil lainnya.[12]
Ketujuh:
Perayaan bid’ah
maulid Nabi ini membuka pintu-pintu bid’ah lainnya dan mematikan sunnah Nabi صلى الله عليه وسلم. Oleh karena itu Anda dapat melihat
mereka begitu bersemangat mengadakan bid’ah tetapi alangkah malasnya mereka
menghidupkan sunnah. Bahkan mereka membenci orang-orang yang menegakkan Sunnah.
Maka jadilah agama mereka seakan-akan seluruhnya hanyalah peringatan dan
perayaan tokoh-tokoh mereka.
Hassan bin
‘Athiyyah رحمه الله
berkata:
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu kebid’ahan dalam agama mereka, kecuali
Allah akan mencabut dari mereka sunnah semisalnya, kemudian dia tidak kembali
ke sunnah hingga hari kiamat”.[13]
Imam
adz-Dzahabi asy-Syafi’i رحمه الله berkata: “Mengikuti sunnah adalah kehidupan hati dan
makanan baginya. Apabila hati telah terbiasa dengan bid’ah, maka tiada lagi
ruang untuk sunnah”.[14]
******
Kesimpulannya,
“tidak boleh merayakan maulid Nabi صلى الله عليه وسلم atau maulid-maulid lainnya karena
hal tersebut termasuk bid’ah dalam agama, tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah, para Khulafaur Rasyidin, para sahabat serta generasi mulia setelah
mereka. Padahal mereka adalah orang yang paling sempurna kecintaan dan
ittiba’nya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم
dibanding orang-orang setelah mereka. Perayaan ini juga termasuk tasyabbuh
terhadap Yahudi dan Nashara dalam perayaan mereka. Maka jelaslah bagi setiap
orang berakal dan ingin mencari kebenaran bahwa perayaan maulid bukan dari
agama Islam, tetapi merupakan bid’ah yang dilarang oleh Alloh عزّوجلّ. Dan tidak sepantasnyalah seorang
yang berakal tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakannya di seluruh
penjuru dunia, karena kebenaran itu tidaklah dikenali (diukur) dengan banyaknya
pelaku, tetapi dengan dalil syar’i. Belum lagi kebanyakan perayaan-perayaan ini
tidak lepas dari kemungkaran-kemungkaran, seperti campur baur laki-laki
perempuan, musik dan nyanyian, minuman memabukkan, dan lain-lainnya.”[15]
Demikianlah
hukum perayaan maulid Nabi yang sebenarnya, maka janganlah engkau tertipu
dengan banyaknya orang yang menyelisihinya!! Sungguh bagus sekali nasihat Imam
Fudhail bin Iyadh:
عَلَيْكَ بِطَرِيْقِ الْحَقِّ وَلاَ تَسْتَوْحِشْ لِقِلَّةِ السَّالِكِيْنَ وَإِيَّاكَ
وَطَرِيْقِ الْبَاطِلِ وِلاِ تَغْتَرْ بِكَثْرَةِ الْهَالِكِيْنَ
Ikutilah jalan
kebenaran dan jangan engkau merasa sedih dengan sedikitnya orang yang berjalan
di atasnya. Dan waspadalah dari jalan kebatilan. Dan janganlah tertipu dengan
banyaknya orang yang binasa (melakukannya).[]
[4] Lihat al-Qoulul Fashl fi Hukmi Al-Ihtifal
bi Maulid Khoirir Rusul, Syaikh Ismail al-Anshori hlm. 451-462.
[9] HR. Abu Dawud 4002 Aunul Ma’bud,
Ahmad dalam Musnadnya 2/50; dihasankan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Hajar, dan
dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no.
1269.
Faedah: Akhuna Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
memiliki risalah khusus berjudul “Polemik Perayaan Maulid Nabi”.
Keterangan di atas hanya ringkasan darinya. Semoga Allah menyegerakan
penyempurnaannya dan memudahkan penerbitannya.
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !