Puasa Perspektif Q.S Al-Baqarah :183-185

04 Juli 2014 Label:
Puasa Perspektif Q.S Al-Baqarah :183-185

A.    Latar Belakang
Dalam salah satu rukun Islam telah disebutkan bahwa puasa adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mencapai derajat muslim. Dalam hadits Nabi pun disebutkan bahwa puasa adalah salah satu tiang penyangga Islam. Oleh karenanya sebagai umat Islam kita tentu berkewajiban melaksanakannya. Namun Islam bukanlah agama yang memberatkan, prinsip rahmatan lil alamin telah diteladankan oleh Nabi Muhammad yang tidak lain semua itu bersumber dari Allah. Misalnya bagi orang yang sakit atau musafir tidaklah dikenai kewajiban puasa, karena mereka dalam keadaan yang payah. Dan masih banyak lagi bukti rahmatan lil ‘alamin tersebut, diantaranya yang terkandung dalam QS.Al-Baqarah:183-185 yang akan kami bicarakan dibawah ini.

Membicarakan tentang kewajiban puasa tentu tidak terlepas dari firman Allah swt. Diantaranya pada Q.S al-Baqarah : 183-185, yang akan kami coba paparkan sedikit penjelasan mengenainya.
 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa(183)(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(184)Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadlan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan batil). Oleh karena itu barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu supaya kamu bersyukur (185)

B.    Asbabun Nuzul
Diketengahkan oleh Ibnu Saad dalam Thabaqatnya, dari Mujahid, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qais bin Saib (yang sudah sangat lanjut usianya), Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin (Q.S. Al-Baqarah 184). Lalu ia tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin setiap hari Ramadan yang tidak dipuasainya."[1]
Ada lagi yang menyebutkan sebab turunnya sebagai berikut:
روى ابن جرير عن معاذ بن جبل رضي الله عنه أنه قال : « إنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فصام يوم عاشوراء ، وثلاثة أيام من كل شهر » ، ثم إن الله عز وجل فرض شهر رمضان ، فأنزل الله تعالى ذكره { ياأيها الذين آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام } حتى بلغ { وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فكان من شاء صام ، ومن شاء أفطر وأطعم مسكيناً ، ثم إن الله عز وجل أوجب الصيام على الصحيح المقيم ، وثبت الإطعام للكبير الذي لا يستطيع الصوم ، فأنزل الله عز وجل { فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . . . } .
Dari Ibnu Jarir dari mu’adz bin jabbal berkata : bahwa Rasulullah SAW.datang ke Madinah pada hari ‘Asyura kemudian beliau berpuasa, dan beliau berpuasa selama tiga hari setiap bulan. Kemudian Allah mewajibkan puasa Ramadlan, dengan menurunkan QS.Al-Baqarah 183-184 (وَعَلَى الذين يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ), maka saat itu ada yang berkeinginan untuk berpuasa, ada yang berbuka dan ada yang memilih untuk memberi makan orang miskin. Kemudian Allah mewajibkan puasa bagi orang yang sehat lagi muqim ( tidak bepergian) dan menetapkan kriteria bagi yang memberi makan orang miskin yaitu orang yang sudah tua dan tidak mampu untuk berpuasa, dengan menurunkan ayat
فَمَن شَهِدَ مِنكُم الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ . .[2]

C.     Makna Mufrodat
يا ايها الذين : wahai orang-orang, huruf ya’ disini merupakan huruf nida’ yang berarti seruan kepada orang banyak.
امنوا      : orang-orang yang beriman, lafadz ini sebagai na’at dari pada lafadz الذين, sehingga seruan ini dikhususkan kepada orang yang beriman saja baik laki-laki atau perempuan.
كتب       : diwajibkan atau ditetapkan
عليكم     : atas kamu sekalian (umat Islam), dlomir kum disini kembali pada lafadz امنوا الذين. Lafadz ini juga sebagai pelaku dari lafadz kutiba.
الصيام    : puasa, menahan dari melakukan sesuatu
كما كتب على الذين من قبلكم: seperti halnya diwajibkan kepada umat sebelum kamu(umat Muhammad), yaitu umatnya nabi-nabi terdahulu mulai nabi Adam as. Huruf kaf merupakan tasybih atas hukum dan sifat puasa yang wajib bukan pada bilangannya, namun ada pula yag berpendapat penyerupaan ini pada bilangannya, pendapat yang kedua ini pun menimbulkan kontroversi, ada yang berpendapat bahwa kalimat ini dihapus dengan ayat 185 dan ada yang mengatakan bahwa kalimat ini tidak dihapus dan ayat ini adalah ayat muhkamat.[3]
لعلكم تتقون          : puasa sebagai jalan menuju takwa
أياماً معدودات        :hari yang ditentukan, lafadz أياما berkedudukan sebagai dlorof sehingga dibaca nashob sedangkan amilnya yaitu shiyam, jika diperlihatkan menjadi كتب عليكم الصيام في هذه الأيام. Hal ini pun ada 3 pendapat, bahwa hari itu adalah 3 hari dalam setiap bulan, ada pula yang 3 hari tersebut ditambah dengan bulan asyura dan yang lebih shohih adalah hari itu pada waktu bulan ramadlan.
فمن كان منكم مريضاً أو على سفر فعدة:kewajiban puasa diatas tidak belaku bagi orang yang sakit dan safar, lafadz ini menunjukkan kebolehan untuk berbuka bagi mereka. Lafadz عدة menurut ar-raghib adalah sesuatu yang berbilang. Menurut qurthubi adalah عدة adalah fiil dari عد yang berarti ma’dud atau bilangan.[4]
مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ :hari-hari lain yang sama bilangannya dengan hari ketika sakit atau safar. أُخَر adalah jama’ dari ukhra, أي أياماً أخرى menurut alkisai hal ini tercegah dari perubahan karena jika demikian menunjukkan pada ma’na akhar sedangkan menurut sibawaih jika dijama’kan harus adanya penambahan alif dan lam.
وعلى الذين يطيقونه :dan bagi orang yang melakukan hal diatas, يطيقونه berarti orang yang jika berpuasa dapat menimbulkan bahaya dan kesuliatan baginya.[5]
فِدْيَةٌ       :memberikan sesuatu harta benda atau yang semisalnya (makanan) kepada manusia sebab meringkas atau mengganti ibadah yang telah ditinggalkannya, hal ini serupa dengan kafarat.
طعامُ مسكين : makanan kepada orang miskin, mengenai qira’ah untuk kalimat ini dibawah akan kami jelaskan.
ً فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًافَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ : menurut ibnu Abbas kalimat tersebut berarti seseorang yang telah memberi makan orang miskin, menurut thowus yaitu orang yang rela memberi makan orang miskin dan menurut mujahid adalah banyaknya orang miskin yang diberi maka memberi tambahan kebaikan kepada si pemberi.[6]
وَأَن تَصُومُواْ :dan berpuasa bagi orang-orang yang mampu, dlomir disini tidak kembali kepada orang-orang yang sakit, safar, hamil, menyusui dan orang yang renta. Karena bagi mereka berbuka itu lebih baik dari pada berpuasa.[7]
خَيْرٌ لَّكُمْ : lebih baik dari pada membayar fidyah dan melaksanakan kebajikan.[8]
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ : jika kamu mengetahui (keutamaan puasa dan segala kebaikan yang menyertainya), yang termasuk dalam lafadz ini adalah ahlul ilmi yang mau memikirkan keutamaannya. Sedangkan jawab dari lafadz ini dibuang, hal ini menunjukkan pada lafadz sebelumnya yaitu boleh memilih antara puasa atau tidak.[9]
شهر رمضان : menurut akhfasy kalimat ini menjadi rofa’ karena menafsiri lafadz أياماً  . رمضان berasal dari kata الرّمض, yang berarti panas. Dinamakan ramadlan karena membakar dosa-dosa.[10]
الذي أُنزل فيه القرآن            : yang mana al-qur’an diturunkan pada bulan itu, mengenai hal ini ada 3 pendapat, menurut ibnu abbas yaitu ketika alqur’an turun secara sekaligus dari baitul izzah menuju langit dunia itulah yang dinamakan lailatul qadar. Menurut mujahid dan dhohak yaitu turunnya alqur’an bersamaan dengan diwajibkannya puasa. Sedangkan menurut ibnu ishaq dan abu sulaiman ad-dimasyqi adalah yang dinamakan awal diturunkannya al-qur’an ketika ia disampaikan kepada nabi Muhammad SAW.[11]
هُدًى لّلنَّاسِ : memberi petunjuk dari kegelapan,[12] dibaca nashob karena menjadi hal. Ayat ini menjelaskan bahwa turunnya al-qur’an telah memberi petunjuk manusia kepada kebenaran.[13]
وبينات مِّنَ الهدى وَالْفُرْقَان : kalimat ini disebutkan setelah هُدًى لّلنَّاسِ , menunjukkan bahwa Allah menjelaskan beberapa petunjuk yang Dia berikan melalui wahyu yang telah diberikan kepada utusannya, melalui kitab-kitab-Nya, yang disana telah dijelaskan antara yang haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan.[14] Menurut jalalain huda yang kedua menunjukkan hukum-hukum yang haq.[15]
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ : yaitu orang yang menyaksikan, hadir dan muqim pada bulan itu, tidak sedang musafir.
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ : الشَّهْر dibaca nashob karena berkedudukan sebagai dhorof, sedangkan فَلْيَصُمْهُ (ha’nya) tidak berkedudukan sebagai maf’ul bih tetapi sebagai dhorof.[16]
يريد الله بكم اليسر:  Imam  Ibnu `Abbas, Mujahid, Qotadah, dan imam Dhohak berpendapat bahwa kemudahan itu dimaksudkan untuk mereka yang berada diperjalanan karena sulitnya berpuasa dalam perjalanan tersebut. Sedangkan menurut `Umar bun Abdul `Aziz mengatakan bahwah  hal tersebut lebih memudahkan untuk melakukan puasa atau tidak.hal ini senada dengan tafsiran imam baidhowi yang mengatakan bahwa “Allah memberikan kemudahan dan tidak menyusahkan. Oleh karenanya boleh untuk  tidak berpuasa bagi orang yang ada berada d perjalanan artau bagi orang yang sakit.
ولتكملوا العدة:  imam inbu katsir, nafi` inbu `amir, hamzah dan kisa`i membaca sukun kafnya untuk meringankan, sedangkan abu bakar riwayat `ashim  dengan membaca tasydid huruf mimnya. Imam ibnu Abbas menafsirkan perintah menyempurnakan pada bilangan puasa yang telah ditinggalkannya. Begutu juga imam yang lain menegaskan bahwa menyempurkan bilangan bukan berarti menambahkan atau memindah pada waktu yang lain  yang telah diwajibkan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Dalam aisaru tafasir dijelaskan bahwa mengqodho` berarti menyempurnakan bilangan ramadhan.
ولتكبروا على ما هداكم : perintah mengagungkan Allah tersebut dilakukan ketika telah ,menyempurnakan puasa dimulai dari terlihatnya hilal hingga pulang_selesai_dari sholat `id. Takbir(mengagungkan Allah) tersebut memang telah disyari`atkan yangmana didalamnya terkandung  pahala.
ولعلكم تشكرون : puasa yang diwajibkan serta sunnah untuk mengagungkan tersebut diharapkan menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang bersyukur atas ni’mat-Nya, karena sesungguhnya bersyukur adalah bagian dari sebuah keta`atan.

D.    Pengertian Secara Global
Allah swt. Telah mewajibkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana Dia mewajibkannya kepada umat-umat terdahulu (ahlul milal). Dibalik kewajiban tersebut didapati beberapa faidah yang besar dan hikmah yang mulia, yaitu meningkatkan ketaqwaan manusia yang berpuasa dan menjauhkan dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah swt.
Puasa yang diwajibkan adalah puasa yang ditentukan harinya yaitu pada bulan Ramadlan. Selain hari itu tidaklah diwajibkan, hal tersebut merupakan salah satu bukti dari rahmat Allah, bukti yang lain adalah bagi orang yang sakit dan tidak mampu untuk berpuasa serta musafir yang kelelahan dan tidak mampu pula maka baginya boleh berbuka dan mengganti di hari yang lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.
Kewajiban puasa yang bertepatan di bulan ramadlan dikarenakan pada bulan tersebut adalah permulaan diturunkannya Al-Qur’an yang mulia, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar hukum yang berlaku sepanjang zaman, dan diperuntukkan bagi umat Muhammad SAW. Al-Qur’an adalah cahaya, petunjuk, dan pedoman hidup bahagia bagi orang yang mau menempuh di jalan Al-Qur’an itu sendiri. Selain itu Allah telah menurunkan rahmat kepada umatnya di bulan Ramadlan.[17]

E.    Kandungan Hukum
1.      Definisi Puasa
Secara etimologi puasa berarti manahan, meninggalkan berpindah dari satu perbuatan kepada perbuatan yang lain. Kata shoum bermakna “diam”, hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Sesungguhnya aku telah bernadzar shaum untuk Ar-Rahman, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini” [Maryam : 26]
Shahabat Anas bin Malik dan Ibnu ‘Abbas ra. berkata : صَوْمًا maknanya adalah صَمْتًا yaitu menahan diri dari berbicara.
Ahli syi’ir umru’ul qais pun menyebutkan dalam syairnya :
حتى اذا صام انهار واعتدل    وشال للشمس لعاب فنزل   lafadz shooma disini bermakna bahwa siang itu tidak beranjak pergi maka seolah-olah dia berhenti.
Secara terminologi puasa berarti menahan dari makan dan minum disertai dengan penetapan niat beribadah sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dan menyempurnakannya dengan menjauhi segala sesuatu yang dilarang ataupun diharamkan.[18]
2.      Kewajiban Puasa Bagi Umat Islam Sebelum Bulan Ramadlan
Lafadz أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ disini menunjukkan bahwa puasa yang diwajibkan itu pada hari-hari yang ditentukan, dan jumhur ulama’ yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Jarir Al Thabari bersepakat bahwa hari itu adalah hari-hari pada bulan ramadlan. Sedangkan diriwayatkan dari Qatadah dan Atho’ bahwasanya sebelum umat Islam diwajikan puasa Ramadlan mereka telah diwajibkan berpuasa selama tiga hari setiap bulan sebagaimana puasanya umat-umat terdahulu. Kemudian kewajiban tersebut dihapus dengan ayat شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن . Namun ibnu Abbas menambahkan bahwasanya puasanya orang Nashara adalah 10 hari di awal bulan dan 10 hari di akhir bulan, dan mereka berpuasa antara musim dingin dan musim panas.[19]
Menurut kesepakatan jumhur lafadz كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصيام masih bermakna global, lafadz itu tidak menunjukkan bahwa ruasa yang diwajibkan itu satu hari, dua hari atau lebih, kemudian hak tersebut diperjelas dengan ayat selanjutnya yaitu أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ , namun sebenarnya kalimat ini pun masih mengandung makna global, apakah dikerjakan dalam hitungan minggu atau bulan. Selanjutnya Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya yaitu شهر رمضان . Disinilah landasan dasar yang kuat bahwa yang diwajibkan bagi umat Islam adalah puasa Ramadlan.
Sedangkan Imam Thabari menjelaskan bahwa lafadz أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ ,sudah mengandung kejelasan bahwa yang dimaksud adalah hari di bulan Ramadlan, dan tidak ada berita yang menyebutkan bahwa umat Islam dikenakan kewajiban puasa sebelum bulan Ramadlan ini kemudian dihapus dengan datangnya perintah puasa Ramadlan. Karena Allah telah menjelaskan dalam firman-Nya bahwa Dia telah mewajibkan hanya puasa Ramadlan bagi umat Islam.[20]
3.      Sejarah Turunnya Perintah Shaum Ramadhan
Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya sebanyak sembilan kali.
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibannya yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai hari kiamat sebagai nasikh (penghapus) hukum sebelumnya.

Tahapan awal berdasarkan firman Allah Ta'ala :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ( البقرة: ١٨٤(

Artinya : ”Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :“Adapun orang yang sehat dan mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”
Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma ketika membaca ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.
Dan atsar dari Salamah ibnu Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :“Barangsiapa hendak bershaum maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.”
Secara dhahir, ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana pendapat jumhur ulama. Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :“Ayat ini bukanlah mansukh melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap harinya.”
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :“Kesimpulan bahwa mansukhnya ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak ada qadha` baginya”.
Dan inilah tahapan kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh (dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ radiyallahu 'anhu:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟ قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ - وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي فَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ : )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ( فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ(رواه البخاري وأبو داود(
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab : “Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” - dan Qois pada siang harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau (yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka- pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka turunlah ayat :(أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ)“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli) istri-istri kalian.” Dan para shahabat pun berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :(وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ)“Dan makan serta minumlah sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu Fajar.”[HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud].[21]
4.      Hukum Puasa Ramadlan
Puasa Ramadhan adalah suatu kewajiban yang jelas yang termaktub dalam Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan ijma’ kaum muslimin. Hal ini didasarkan pada lafadz كتب عليكم الصيام  Q.S al-Baqarah :183, kemudian lafadz itu diperjelas dengan lafadz selanjutnya اياما معدودات   yang menurut al-farra’ adalah maf’ul kedua dari lafadz “kutiba”. Namun ada juga yang mengatakan bahwa lafadz tersebut dibaca nashob karena dharaf lafadz “kutiba”. Menurut al-Qurthubi lafadz اياما معدودات  berarti bulan Ramadlan. Hal ini pun senada dengan hadits Nabi SAW.
بني الاسلام على خمس شهادة ان لا اله الا الله وان محمدا رسول الله واقام الصلاة وايتاء الزكاة وصوم رمضان والحج
“Islam dibangun di atas lima hal: bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke Baitullah." (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Umar)
Lafadz صوم رمضان di ‘athofkan pada lafadz شهادة , sehingga kedudukan puasa ini menjadi sangat signifikan untuk menyempurnakan keislaman seseorang. Sementara itu kaum muslimin juga telah bersepakat akan wajibnya puasa Ramadhan.
5.      Keutamaan Puasa
Pada dasarnya puasa adalah jenis ibadah yang khusus kapada Allah, meskipun semua ibadah juga bertujuan kepada Allah, namun ada beberapa hal yang membedakan antara puasa dengan ubudiyah lainnya, antara lain :
a.       Dengan puasa seseorang bisa mencegah keinginan hawa nafsunya
b.      Bahwa puasa adalah suatu rahasia antara Tuhan dengan hamba-Nya saja dan tidak mapu dilihat oleh orang lain.
Melihat hal-hal yang memang menjadi ciri khas puasa, pahala yang diperoleh pun juga sangat agung dan langsung dari Allah swt.
6.      Manfaat dan Tujuan Puasa
Adapun tujuan dari puasa adalah membentuk pribadi yang bertakwa لعلكم تعقلون sarana untuk menghadapi derajat takwa apabila seseorang melakukannya dengan sesungguhnya (sesuai dengan syari’at). Dengan puasa berarti kita menyedikitkan makan sehingga memperdaya hawa nafsu(syahwat) dan meminimalisir dalam berbuat maksiat. Jadi takwa itu sebagi hasil yang diperoleh dari mematikan syahwat tersebut.
Orang yang berpuasa berarti diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah, yakni dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Inilah tujuan agung dari disyari’atkannya puasa. Jadi bukan hanya sekedar melatih untuk meninggalkan makan, minum.
Adapun takwa adalah meninggalkan keharaman-keharaman, dan kata takwa ini ketika dimutlakkan (penggunaannya) maka mengandung makna mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):"Barangsiapa yang tidak bisa meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap amalan dia meninggalkan makanan dan minumannya."
7.      Sakit dan Musafir Diperbolehkan Berbuka
فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain…..(QS Al-Baqarah :184)”
Secara tekstual firman Allah diatas menunjukkan bahwa setiap muslim yang sakit atau sedang bepergian, dibolehkan untuk tidak berpuasa. Namun para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan kriteria sakit dan bepergian yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
a.       Al-Zhahiriyah berpendapat bahwa safar dan maridl yang diperkenankan untuk berbuka puasa adalah safar dan maridl secara mutlak atau umum. Artinya tidak ada kriteria tertentu bagi kedua hal tersebut.
Mereka berargumentasi dengan keumuman ayat فمن كان منكم مريضا او على سفر. Ungkapan kata maridl disimi sifatnya umum, tidak harus dibatasi dengan sakit keras atau parah. Begitu pula kata shafar, tidak dibatasi dengan bepergian yang jauh jaraknya.[22]
b.      Jumhur ulama berpendapat bahwa sakit yang diperkenankan untuk berbuka puasa adalah sakit yang berat dan keras, yang apabila ia berpuasa akan membahayakan jiwanya atau paling tidak akan bertambah parah. Sedangkan mengenai safar adalah perjalanan yang jauh, yang menurut kebiasaan akan dapat mengakibatkan penderitaan dan kelelahan. Argumentasi mereka berdasarkan pada يريد الله بكم اليسر ولايريد بكم العسر  “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…….(QS Al-Baqarah:185)
Ayat ini menunjuk bahwa maksud utama adanya rukhshoh adalah menghilangkan kesukaran dan bahaya.
c.       Al-Qurthubi menyatakan bahwa sakit disini ada dua macam :
a.       Sakit yang penderitanya sudah tidak mampu untuk berpuasa, maka ini diwajibkan untuk berbuka.
b.      Suatu penyakit yang penderitanya masih sanggup untuk berpuasa, namun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Maka hal seperti ini diperbolehkan untuk berbuka.[23]
Sedangkan safar menurut al-Qurthubi adalah safar yang dikerjakan karena perintah Allah seperti haji, jihad, silaturrahim,dan mencari nafkah yang pokok. Adapun safar dalam rangka berdagang dan safar selain maksiat adalah boleh menurut qoul yang shohih. Ulama sepakat bahwa pada waktu Ramadlan tidak diperkenankan berbuka bagi musafir yang menginap, dan tidak boleh berbuka sebelum keluar dari rumah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jarak safar yang diperbolehkan untuk berbuka.
a.       Imam Malik berpendapat jarak yang diperbolehkan bila perjalanan itu memakan waktu satu hari satu malam atau 48 mil.
b.      Imam Syafi’i berpendapat dua hari dua malam atau kurang lebih 128 km.
c.       Ibnu Umar, Ibn Abbas dan Al-Tsauri berpendapat minimal tiga hari tiga malam[24]
8.      Puasa Ditengah Perjalanan
Dibalik kebolehan berbuka bagi musafir tersebut, para ulama’ berbeda dalam hal seorang musafir lebih baik berbuka ataukah meneruskan puasanya.
a.       Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mampu dan kuat untuk berpuasa lebih baik berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah وان تصوموا خير لكم . selain itu berdasarkan pada hadits dari anas bin malik  الصوم في السفر افضل لمن قدر عليه  . Sedangkan yang tidak kuat boleh berbuka, berdasarkan firman Allah يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر  .
b.      Ahmad dan Ibn Abbas berpendapat bahwa berbuka itu lebih utama. Sesuai dengan firman Allah يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر    Sebab hal itu berarti berpegang dan mengamalkan rukhshah.[25]
9.      Qadla Puasa
  فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain…..(QS Al-Baqarah :184)”
Jumhur ulama telah sepakat bahwa wajib mengganti puasa di hari lain sesuai dengan jumlah hari berbukanya pada bulan Ramadlan. Namun, ulama terjadi selisih pendapat tentang waktu pelaksanaannya. Apakah harus dilakukan secara berturut-turut atau tidak, sesuai dengan kesempatan yang dia miliki. Para ulama mengemukakan pendapatnya sebagai berikut.
a.       Ibnu Umar, Al-Sya’bi dan Daruquthni mengatakan bahwa pelaksanaan qadla harus berturut-turut. Argumentasi mereka adalah qadla merupakan imbangan atau bandingan dari melakukan puasa pada waktunya. Oleh sebab itu, qadla hendaklah dilakukan secara berturut-turut pula, sebagaimana halnya puasa yang dilakukan pada bulan Ramadlan.
b.      Jumhur Fuqaha’, Ibn Abbas, Maliki, Syafi’i dan Ibn Arabi berpendapat bahwa pelaksanaan secara terpisah itu diperbolehkan. Hal ini berdasar فعدة من ايام اخر dalam konteks tersebut tidak ditentukan waktu pelaksanaan secara terpisah atau berturut-turut, tetapi yang terpenting adalah terpenuhinya jumlah-jumlah hari yang ditinggalkan.[26]
Mereka juga berdalil dengan hadits yang diriwayatkan dari Ubaidah al-Jarrah, ia berkata:
ان الله لم يرخص لكم في فطره وهو يريد ان يشق عليكم في قضائه ان شئت فواصل وان شئت ففرق
“Sesungguhnya Allah tidak memberikan rukhshah kepadamu dalam berbuka puasa, sedangkan Dia hendak menyusahkanmu dalam mengqadhanya. Jika kamu mau (mengqadhanya secara bersambung-sambung) makalakukanlah, dan jika kamu mau (mengqadlanya secara berselang-selang) maka lakukanlah”[27]
Batas paling akhir untuk mengqadha puasa adalah di bulan sya’ban. Jika seseorang tersebut tersebut mengqadla di akhir bulan Sya’ban maka ada beberapa pendapat yang menyikapinya:
-          Malik,Syafii, Ahmad dan Ishaq mengatakan wajib membayar kafarat
-          Abu Hanifah, Hasan dan An-Nakha’I mengatakan tidak wajib
Kafarat yang dimaksud berupa memberi makan 60 orang miskin sebanyak 1 mud,menurut Malik, Syafii dan Abu Hurairah.
Jika orang yang sakit itu belum juga sembuh sampai datang Ramadlan berikutnya maka ulama’ pun berbeda pendapat dalam menyikapinya. Ibnu Umar dan Daruquthni mengatakan bahwa baginya cukup untuk memberi makan orang miskin setiap hari tanpa mengqadla. Namun menurut Abu Hurairah adalah tetap wajib baginya untuk mengqadla suatu saat jika dia sembuh. Begitu juga dengan musafir dan orang sakit yang meninggal ketika dalam perjalanan atau saat masih sakit, menurut jumhur dia tidak mempunyai kewajiban apa-apa, namun Qatadah mengatakan bahwa keluarganya harus membayarkan kafarat atas namanya.[28]
10.  Puasa Orang Yang Lanjut Usia
وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin.”
Lafadz يطيقونه  berasal dari يطوقونه  . Qira’ah Ibnu Abbas mengatakannya dengan يطوقونه yang bermakna يكلفونه  yang berarti bagi orang tua atau orang lemah yang tidak kuat untuk berpuasa hendaklah memberi makan 1 orang miskin setiap hari dengan tanpa disertai qadla’.
Lafadz مسكين pada ayat ini menurut Ibnu Abbas bermakna mufrod, hal ini diqiyaskan pada QS Al-Nur :4 فاجلدوهم ثمنين جلدة  “Jilidlah setiap orang dengan delapan puluh kali jilidan”[29]
Sedangkan فدية طعام مسكين adalah qiraah abu amr, ibnu katsir dan hamzah. Untuk imam Kisa’i adalah طعام المسكين فديةٌ , untuk Nafi’ dan ibnu Amir adalah فدية tanpa tanwin طعام dibaca jar dan مساكين .
Para ulama ada yang berpendapat bahwa وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين  dihapus dengan وان تصوموا خيرلكم yang bermakna perintah untuk tetap berpuasa. Namun jumhur sepakat bahwasanya kalimat tersebut tidak di naskh. Karena yang dimaksud dengan يطيقونه hanyalah ketika seseorang itu sudah tua atau lemah dan benar-benar tidak mampu untuk berpuasa lagi, inilah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya.
11.  Puasa Perempuan Hamil dan Menyusui.
Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang hamil dan sedang menyusui anaknya, apabila ia khawatir terhadap dirinya ataupun anaknya maka boleh berbuka. Namun ulama berbeda pendapat tentang kewajiban mengqadha apakah disertai dengan membayar fidyah juga.
-          Ibnu Abbas berpendapat bahwa bagi mereka diwajibkan juga untuk membayar fidyah
-          Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita tersebut hanya wajib mengqadla’. Dengan alasan : perempuan hamil atau menyusui status hukumnya sama dengan orang yang ditimpa sakit. Beliau mengutip perkataan Hasan Al-Bashri
“Adakah penyakit yang lebih berat selain dari perempuan yang sedang hamil?keduanya (hamil dan menyusui) boleh berbuka dan mengqadla puasanya. Tidak ada kewajiban lain bagi mereka selain mengqadla puasanya saja”[30]
-          Qurthubi mengatakan hal yang sama karena antara fidyah dan qadla’ sama-sama ditujukan sebagai pengganti saja, maka cukuplah satu yang dilaksanakan.[31]
-          Syaf’i dan Ahmad mengatakan mereka berdua wajib mengqadla’ dan membayar fidyah. Mereka berargumentasi bahwa perempuan tersebut termasuk dalam pengertian وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين  (dan wajib bagi orang-orang yang berat melaksanakannya untuk membayar fidyah).
Namun ada riwayat lain dari Ahmaddan Syafii jika mereka khawatir terhadap anaknya saja maka disamping wajib qadla’ juga wajib membayar fidyah. Tapi jika khawatir terhadap dirinya sajamaka wajib mengqadla’ saja.
Sedangkan فمن تطوع خيرا فهو خير له lafadz خيرا yang pertama berarti memberimakan orang miskin setiap hari yang berbeda-beda itu lebih baik, dan lafadz  خير yang kedua bermakna harta benda atupun sesuatu yang bermanfaat.
Selanjutnya lafadz وان تصوموا خير لكم  memiliki maksud bahwa berpuasa itu lebih baik bagi semua orang yang telah tersebut diatas.[32]
12.  Al-Qur’an sebagai Hidayah dan Sumber Hukum
Frasa awal ayat ini menjelaskan, bahwa al-Quran al-Karim telah diturunkan Allah Swt. pada bulan Ramadhan. Dalam ayat lain al-Quran diturunkan pada malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dan pada malam yang diberkati (Lailatul Mubarokah).   Al-Quran telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas: (إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ) Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. (QS ad-Dukhan [44]: 3). (إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ) Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar). (QS al-Qadr [97]: 1).
Ali ash-Shabuni menyatakan bahwa yang dimaksud dengan لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ (Malam yang Diberkahi) adalah malam yang sangat agung dan mulia, yaitu لَيْلَةِ الْقَدْرِ, yang terdapat pada bulan yang penuh berkah (bulan Ramadhan). Hal senada dinyatakan oleh Ibn Jauzi.لَيْلَةِ الْقَدْرِ juga disebut sebagai malam yang penuh keberkahan, karena pada malam itu Allah Swt. menurunkan kepada hamba-Nya al-Quran al-Karim yang di dalamnya berisi keberkahan, kebaikan, dan pahala.Allah Swt. telah memuliakan bulan Ramadhan di antara bulan-bulan yang lain. Ini bisa dimengerti karena bulan Ramadhan telah dipilih Allah Swt. untuk menurunkan al-Qur’an al-‘Azhim.
Ayat ini juga menjelaskan fungsi al-Quran sebagai هُدًى لِلنَّاسِ  (petunjuk bagi manusia), بَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى  (penjelas), dan الْفُرْقَانِ (pemisah/pembeda). Imam Qurthubi mengatakan, bahwa tafsir dari firman Allah Swt.  هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان adalah sebagai berikut:
هدى dibaca nashab karena ia berkedudukan sebagai حال dari al-Quran. Susunan kalimat semacam ini bermakna هاديا لهم (petunjuk untuk mereka). Frasa وبينات  berkedudukan sebagai عطف عليه. Lafadz الهدى sendiri bermakna الارشاد والبيان (petunjuk dan penjelasan). Maknanya, al-Quran secara keseluruhan—baik ayat-ayat muhkâm, mutasyabihat, maupun nasikh dan mansukh—jika dikaji dan diteliti secara mendalam, akan menghasilkan hukum halal dan haram, nasihat-nasihat, serta hukum-hukum yang penuh hikmah. Adapun الفرقان bermakna ما فرق بين الحق والباطل” (hal yang bisa memisahkan antara yang haq dan yang batil).
Frasaهدى للناس juga bermakna رشادا للناس الى سبيل الحق وقصد المنهج (petunjuk kepada umat manusia menuju jalan kebenaran dan metode yang lurus); وبينات من الهدى bermakna واضحات من الهدى (petunjuk-petunjuk yang sangat jelas), artinya bagian dari petunjuk yang menjelaskan tentang hudud Allah, fara’idh-Nya, serta halal dan haram-Nya; الفرقان bermakna الفصل بين الحق والباطل (pemisah antara kebenaran dan kebathilan). Makna semacam ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dari al-Suddi (yang artinya), “ Maksud dari firman Allah Swt. وبينات من الهدى والفرقان adalah بينات من الحلال والحرام. (penjelasan yang menjelaskan halal dan haram).
Al-Hafidz al-Suyuthi juga menjelaskan, bahwa الهدى bermakna petunjuk yang dapat menghindarkan seseorang dari kesesatan; بينات من الهدى bemakna ayat-ayat yang sangat jelas serta hukum-hukum yang menunjukkan seseorang kepada jalan yang benar; dan الفرقان bermakna pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Ayat di atas telah menggambarkan betapa Allah Swt. telah memuliakan dan mengagungkan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan yang lain.  Sebab, pada bulan itu Allah Swt. menurunkan al-Quran yang berisikan petunjuk, penjelasan, serta pemisah antara yang haq dan yang batil. Tidak hanya itu, al-Quran juga adalah sumber segala sumber hukum bagi kaum Muslim yang tidak boleh diingkari dan diacuhkan. Dalam hal ini, Ibn Taimiyah berkata, “ Barangsiapa tidak mau membaca al-Quran berarti ia mengacuhkannya; barangsiapa membaca al-Quran namun tidak menghayati maknanya berarti ia juga mengacuhkannya; barangsiapa yang membaca al-Quran dan telah menghayati maknanya tetapi tidak mau mengamalkan isinya berarti ia mengacuhkannya.”[33]

F.     Lathaif Al-Tafsir
a)      Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan bahwasanya puasa merupakan ibadah yang telah disyari’atkan (diwajibkan) sejak zaman dahulu, namun para ahli kitab sekarang telah merubah dan mengganti kewajiban ini karena kewajiban tersebur seringkali bertepatan dengan musim ranas ataupun dingin sehingga memberatkan bagi mereka namun mereka menggantinya di hari lain dengan menambah bilangannya sampai 50 hari.
b)      Lafadz فعدة من ايام اخر memberikan kemudahan bagi kita dalam berpuasa bila kita dalam keadaan payah.
c)      Bahwasanya berpuasa adalah mewariskan sifat taqwa. Di dalam firman-Nya yang berbunyi لعلكم تتقون ,mengandung arti bahwa dibalik kewajiban puasa tersimpan suatu faidah yang besar dan hikmah yang mulia, salah satunya yaitu dengan berpuasa karena Allah menambah ketaqwaan kita dan mampu mengekang hawa nafsu.
d)     Menurut Imam Qafal ada beberapa faidah di dalamnya yaitu :
-          pensyariatan puasa pada umat sekarang meneladani pada umat-umat terdahulu
-          puasa merupakan suatu jalan menuju ketaqwaan kepada Allah swt.
-          Puasa diwajibkan hanya pada hari-hari tertentu, jikalau tidak maka akan menimbulkan masyaqqat (bahaya) yang besar bagi umat manusia.
-          Puasa diwajibkan pada bulan Ramadlan karena itu adalah bulan yang mulia.
-          Puasa meniadakan bahaya diatas kewajibannya, misalnya ketika seseorang sedang bepergian atau sakit maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, hal itu menunjukkan kasih sayang Allah swt.
e)      وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين   Allah tidak pula memberatkan bagi orang yang tua renta ataupun yang mempunyai halangan untuk berpuasa selamanya maka boleh baginya untuk mengganti puasa dengan membayar fidyah.
f)       فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ menunjukkan bagi orang yang mengetahui masuknya bulan Ramadlan entah itu hanya 1 orang atau 2 orang maka dia berkewajiban untuk memberitahukan kepada semua orang tentangnya. فَلْيَصُمْهmenunjukkan kewajiban puasa bagi orang yang mengetahuinya tadi untuk berpuasa jika tidak ada halangan yang menyertainya.
g)      يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر hal ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyulitkan umat manusia karena Islam adalah rahmatan lil alamin, hal ini juga sesuai denga kaidah ushul fiqh yang berbunyi المشقّة تجلب التيسير.[34]

G. REFERENSI :

Al- baghawi, Abu Muhammad al-Hasan bin Mas`ud. Mualim at-Tanzil. (Dar-at-Tayyibah,1997.Juz 8.cetakan ke-4.
 Al- baidhowi, Nashir al-Din Abu Said `Abdullah bin Umar bin Muhammad as-Sairazi. Anwar At-tanzil wa asr Ar at-ta`wi Al-ma`ruf. Mawaqi` at-Tafasir
Al-Jazairi, Abu Bakar. Aisir at-Tafasir. Mawaqi` at-Tafasir
Al-Mahalli, Jalal ad-DinMuhammad bin Ahmad dan Jalal ad-Din `Abd ar-Rahman bin Abu Bakar AS-Suyuthi. Tafsir AL-Qur`an. Mawaqi` islam
Al-Naisaburi, Al-Hasan bin Muhammad bin husain. Gharaib Al-Qur`An Wa Raghaib Al-Fur`Qon. Mawaqi` at-Tafasir.
Al-Jauzi, Abd ar-Rahman bin `Ali bin Muhammad. Zad al-Muyassir fi `Ilm al-Qur`an. Mawaqi at-Tafasir
At-Thabari , Abu Ja`Far. Jami` al-Bayan fi  Ta`wil al-Qur`an.Muassis ar-Risalah:2000
Al-Shobuni, Muhammad Ali.Rawa’iul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam min Al-Qur’an.Maktabah Al-ghozali,Damsyiq.
Ayatul ahkam
Al-Zamakhsyari, Abu al-Qosam Mahmud ibn Umar ibn Ahmad. Al-Kasyaf.  Mawaqi` at-Tafasir
As-Suyuti, Jalaluddin.Riwayat Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an.Terj.Abdul Mujieb AS.Mutiara Ilmu:Surabaya.
http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/01/24/al-quran-hidayah-dan-sumber-hukum-tafsir-surat-al-baqarah-2-185/  
http://imamrochmad.blogspot.com/2010/08/sejarah-turunnya-syariat-puasa-ramadhan.html

[1] Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Qur’an.terj.M.Abdul Mujib AS.Mutiara Ilmu:Surabaya.hal-54-55
[2] Zamakhsyari :1:81
[3] Maktabah syamilah, zad almuyassir :1:172
[4] Maktabah syamilah, tafsir ayat ahkam :1:79
[5] Ibid.
[6] Zad al-muyassir :1:174
[7] Ibid
[8] zamakhsyari :1:162
[9] Baidlowi : 218
[10] tafsir ayat ahkam: 1: 79
[11] Zad al-muyassir : 180
[12] Jalalain:1:192
[13] Zamakhsyari :1:163
[14] ibid
[15] Jalalain:1:192
[16] Zamakhsyari :1:163
[17] Rawaiul bayan :1 :192
[18] Qurthubi:130-131
[19] zadatul masiir :1:173
[20] Aisir at-Tafasir:1 :86
[21] http://imamrochmad.blogspot.com/2010/08/sejarah-turunnya-syariat-puasa-ramadhan.html
[22] Ali Al-Shabuni I :201
[23] File Tafsir Qurthubi hal-127
[24] Ibid, hal-129-130
[25] Qurthubi, hal-134-135
[26] Qurthubi, hal 135-137
[27] Ali Ash-Shabuni:1980: I:208
[28] Qurthubi, 141
[29] Qurthubi, 144-145
[30] Ali Al-Shabuni :1980: I:210
[31] Qurthubi, 14147-148
[32] Qurthubi, 149
[33] http://wisnusudibjo.wordpress.com/2009/01/24/al-quran-hidayah-dan-sumber-hukum-tafsir-surat-al-baqarah-2-185/
[34] Aisir at-Tafasir,:1:96

0 komentar:

Posting Komentar

Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !

 
.::_Alumni STIBA Makassar_::.
© Sekretariat : Jl. Inspeksi PAM Manggala Makassar 90234 HP. (085 236 498 102) E-mail:alumni.stiba.mks@gmail.com |(5M) |Mu'min |Mushlih |Mujahid |Muta'awin |Mutqin