Agar Kita Menuai Generasi Muta'awin

30 Juni 2012 Label:
Agar Kita Menuai Generasi Muta'awin

Oleh: Ust. Ir. Muhammad Qasim Saguni


Tidak sedikit anggota yang berada dalam sebuah lembaga dakwah keberadaanya tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini barangkali ungkapan halus dari keberadaan anggota yang hanya sebatas catatan administrasi belaka bahkan tidak jarang hanya ‘membebani’ lembaga.

Salah satu kualifikasi yang diinginkan dari kader tarbiyah adalah lahirnya kader yang muta’awin. Apa yang kita maksud dengan kader muta’awin? Kader muta’awin yaitu kader yang siap terlibat dalam kerja-kerja dakwah.

Persoalan ini mendesak selalu ditekankan karena tidak sedikit dari kader-kader dakwah yang namanya hanya tertulis sebagai anggota atau merasa cukup dengan berafiliasi dengan sebuah lembaga dakwah tanpa mau terlibat lebih jauh atau bahkan berkonstribusi dalam kerja dakwah perjuangan. Ini masalah besar bagi harakah dakwah. Jika ini terjadi jelas indikasi tidak tercapainya secara maksimal tujuan-tujuan pengkaderan.

Karena itu murabbi sangat berperan dalam mendongkrak seorang kader yang ‘biasa-biasa saja’ menjadi kader yang ‘luar biasa’. Pembaca budiman, rubrik tarbawiyat edisi kali ini mencoba mengangkat masalah ini sekaligu memberikan kiat-kiatnya. Selamat mengikuti.

1. Menyadari Pentingnya Amal Jama’i
Para murabbi hendaknya selalu mengingatkan para mutarabbinya tentang urgensi amal jama’I untuk selanjutnya mereka bisa terlibat di dalamnya. Mereka harus melek sejak dini dan tahu bahwa berkah dan pertolongan Allah ada pada amal-amal jamai. Dalam al-qur’an disebutkan, “Tangan Allah ada di atas tangan-tangan mereka”. Juga dalam hadits, “Tangan Allah ada pada jama’ah”.

Kalau Allah ingin, Rasulullah bisa berjuang dan berdakwah sendiri tanpa harus melibatkan orang lain. Allah sanggup memenangkan agamaNya tanpa cucuran keringat dan adegan berdarah-berdarah sang Rasul dan shabatnya. Allah sanggup membalikkan hati musuh-musuh dakwah sejak periode Makkah dan langsung beriman pada RasulNya, tanpa harus mencaci maki, mengejek bahkan memerangi Rasulullah. Allah sangat sanggup untuk itu.

Tapi itu tidak terjadi, supaya Rasulullah dapat menjadi contoh bagi ummatnya disetiap zaman bahwa memperjuangkan agama ini dibutuhkan keterlibatan banyak orang. Dan agar setiap orang beriman punya saham dalam perjuangan. Sebab sebuah proyek besar yang bernama I’laa kalimatillah (menegakkan kalimat Allah) ini tidak bisa hanya ditopang oleh seorang tokoh.

Semangat amal jamai ini bisa kita lihat menjalang perang khandaq. Saat Rasulullah dan para shahabat, semuanya turun menggali parit padahal saat itu mereka semua dalam keadaan lapar. Salah seorang di antara mereka memperlihatkan kepada Rasulullah perutnya yang diganjal sebuah batu. Namun beliau justru memperlihatkan perut beliau yang diganjal dengan dua batu. Sangat nampak di sana ada kebersamaan, kekompakan, solidaritas yang dibangun di atas cinta kepada Allah dan RasulNya dalam bentuk amal jamai.

2. Merasa Mulia Dengan Keterlibatan
Setiap murabbi hendaknya menyadarkan para mutarabbinya bahwa terlibat dalam kerja-kerja dakwah adalah syarf (kemuliaan). Sebab kerja-kerja dakwah adalah kerja memperjuangkan dan menjayakan agama Allah. Kerja-kerja ini adalah wazhifatul anbiyaa’ warrusul (kerja utama para nabi dan rasul). Allah memberi jaminan bagi siapa yang menolong agamaNya bahwa pasti ia akan ditolong oleh Allah.

Ini perlu selalu ditekankan sebab ada semacam kekhawatiran yang ditiupkan oleh syaithan kepada mereka yang menceburkan diri dalam kegiatan dakwah; “bagaimana kau bisa hidup dengan kerja deperti ini?” atau “bagaimana kau akan memberi penghidupan yang layak pada anak dan keluargamu jika kau sibuk mengurus agama ini? Dan banyak lagi syubhah sejenis yang kesemuanya adalah bagian dari kerja-kerja iblis yang ingin menakut-nakuti hambanya. Allah ta’ala berfirman, “jika kalian menolong agama Allah maka Allah akan menolongmu.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitabnya az-Zuhd, “Suatu ketika Abu Thalhah al-Anshari membaca firman Allah “infiruu khifaafan wa tsiqaalan”(pergilah kalian berjiha dalam keadaan ringan dan berat). Seketika itu juga ia berkata pada anak-anaknya, “Bekalilah aku, bekalilah aku untuk pergi berjihad”. Anak-anaknya berkata,”Semoga Allah merahmatimu, kamilah yang akan berangkat berjihad. Anda telah berjihad bersama Rasulullah Abu Bakr, Umar. Kamilah yang akan berangkat”.”Kata khifaafan ditujuakan untuk kalian yang masih muda, adapun kata tsiqaalan ditujukan untuk orang seperti saya yang sudah tua. Ia pun berangkat bersama armada laut beberapa waktu lamanya. Saat ia wafat dalam perjalanan, tidak ditemukan pulau untuk memakamkan jenazahnya kecuali setelah tujuh hari itupun jenazahnya tidak rusak. Rhadhiyallahu anhu.

3. Pandai Memposisikan Diri
Para kader harus selalu menanamkan dalam dirinya bahwa ia seperti seorang prajurit yang selalu menunggu komando dari pimpinannya. Apapun jenis perintah itu, selama itu tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah maka syiar seorang muta’awin adalah sam’an wa tha’atan (dengar dan taat). Tentu kita masih ingat bagaimana sikap yang diambil oleh khalid bin walid saat ia harus beralih posisi dari seorang panglima perang menjadi prajurit biasa. Karena penggantian ini adalah titah panglima tertinggi, Umar bin Khatthab, maka ia menerima perintah itu dengan lapang dada dan memposisikan dirinya sebagai prajurit biasa. Padahal shahabat yang dijuluki saifullah al-maslul ini selalu tampil cemerlang di medan jihad dan meraih kegemilangan setiap ia memimpin pasukan.

Kepandaian memposisikan diri dalam sebuah kerja-kerja jama’ah adalah salah satu di antara buah keikhlasan. Keikhlasan selalu menyadarkan pemiliknya bahwa apa yang ia kerjakan, apapun posisinya, adalah adalah dalam rangka menjayakan agama Allah. Amanah yang ia pegang tidak ditujukan untuk ‘membesarkan’ dirinya dan mendongkraknya pribadinya menjadi orang hebat, tapi dalam rangka beribadah kepada Allah. Karena itu jika pimpinan memintanya menggeser posisi atau amanah yang lain, selama ia sanggup, maka tidak ada pilihan kecuali harus ditaati. Maka kader yang baik adalah kader yang mampu memposisikan dirinya dalam sebuah kerja jamaah.

4. Mampu Memberi
Yang kita maksud di sini adalah bagaimana agar setiap kader mampu memberi konstribusi dalam kerja-kerja menjayakan agama Allah. Konstribusi yang diberikan oleh kader sesuai dengan apa yang ia miliki. Bisa dalam bentuk pemikiran dan ide-ide cemerlang, kemampuan manejerial, profesionalisme atau dukungan finansial dll.

Setiap kader diharapkan bisa mengenal dengan baik di mana titik kelebihannya sehingga ia bisa segera mendistribusikan kelebihan itu untuk dakwah dan perjuangan. Sebab kemampuan kita terbatas. Kita tidak bisa memberi segalanya dan tidak akan pernah sanggup memberi segalanya. Maka hendaknya setiap kader segera memastikan di mana letak keunggulannya yang dengan itu ia bekerja fokus berjuang untuk ummat ini.

Lihatlah para shahabat Rasulullah. Mereka semua sanggup memberi konstribusi dalam perjuangan. Abu Bakar as-Shiddiq, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Shuhaib ar-Rumi menyumbangkan harta mereka. Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, Ibn Masud, Zaid bin Tsabit memainkan peran sebagai ulama yang mumpuni. Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah ibn Jarrah memainkan peran sebagai panglima dan penakluk yang ulung.

Bahkan mereka yang termasuk berudzurpun memainkan peran yang tidak kalah muhimnya seperti Abdullah bin Ummi Maktum yang mengganti Rasulullah menjadi imam shalat setiap beliau dan para shahabat meninggalkan kota madinah. Begitu pula Ummu Mihjan yang renta menjadi cleaning service masjid Rasulullah. Sampai-sampai ketika wanita ini meninggal, Rasulullah marah karena beliau tidak diberitahukan.

5. Mampu Bekerja Dalam Sebuah Tim.
Usamah bin Zaid masih sangat muda saat ia ditunjuk Rasulullah menjadi panglima perang dalam menghadapi pasukan Romawi. Ia sadar betul bahwa di bawahnya ada banyak shahabat senior seperti Abu Bakr, Umar, Utsman dll sehingga beliau merasa segan menerima amanah itu. Pasukan ini urung diberangkatkan karena Rasulullah wafat.

Saat Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah menggantikan beliau, ia merasa berkewajiban melanjutkan misi penyerangan ini. Jelang pemberangkatan, Usamah bin Zaid meminta pada Abu Bakar agar ia berposisi sebagai prajurit biasa saja, bukan sebagai komandan. Namun usul ini ditolak oleh Abu Bakr dengan perkataannya yang terkenal,”berangkatlah engkau wahai Usamah, sungguh pada pasukanmu ada tujuan mulia yang dengannya engkau diperintah. Berperanglah sesuai dengan perintah Rasulullah”.

Inilah sepenggal contoh bagaimana para shahabat mampu bekerja dalam sebuah tim yang kompak. Usamah bin Zaid dengan kesadaran yang mendalam bahwa ia masih sangat muda dan di sekelilingnya banyak shahabat senior ada baiknya kalau mereka saja yang memimpin ekspedisi perang menghadapi pasukan Romawi yang terkenal hebat itu.

Namun, bagi seorang Abu Bakar yang peka, penunjukan Usamah sebagai pemimpin, tidak boleh diubah sebabitu adalah titah Rasulullah. Abu Bakar melihat betapapun Rasulullah telah wafat, ia sebagai khalifah harus tetap bekerja melanjautkan ketetapan Rasulullah. Sebelia bagaimanapun Usamah dan sesenior bagaimanapun sahabat-sahabat yang dipimpinnya mereka adalah tim yang kompak dan harus brangkat menjalankan titah itu. Nampak dalam kisah ini ada suasana tarik ulur, namun karena kesadaran semua fihak yang terlibat yaitu para shahabat sebagai sebuah tim maka mereka pun memposisikan dirimereka dengan baik.

6. Belajar Memahami Orang Lain.
Bekerja dalam sebuah jamaah membutuhkan kemampuan memahami. Karena itu hendaknya setiap kader menumbuhkna kemampuan untuk memahami kelebihan sekaligus kekurangan saudaranya dalam seperjuangan. Setiap kader harus sadar bahwa ia bergabung dengan orang-orang yang memiliki wawasan,perasaan, pengalaman, watak dan karakter yang berbeda-beda.

Dengan modal ini, seorang kader dapat bermain dengan lincah dan meminimalisir pergesekan dan persinggungan dengan saudaranya yang lain. Meski pergesekan dan persinggungan hampir pasti sulit dihindari, namun kemampuan memahami orang lain menjadi alat peredam yang paling ampuh dari bahaya perpecahan.

Contoh sederhana dalam masalah ini adalah bagaimana sikap Rasulullah ketika menghadapi orang badui yang kencing di masjid. Beliau tidak memukulnya sebab orang ini berasal dari pedalaman yang kurang mengerti adab. Begitu pula sikap Rasulullah kepada Mu’adz bin Jabal yang dilaporkan terlalu memanjangkan bacaannya saat shalat berjama’ah. Lalu beliau memarahinya selaligus mengingatkannya untuk meringkas bacaannya karena kondisi makmum yang berbeda-beda.

Inilah beberapa tips sederhana bagaiman agar para binaan kita bisa berpindah dari sekedar berafiliasi menjadi kader yang mampu berpartisipasi dan memberi konstribusi dalam perjuangan mennegakkan agama Allah ta’ala.
Yang pasti berjuang menegakkan agama Allah ta’ala dibutuhkan komitmen kuat dari setiap kader bahwa hanya dengan tajarrudlah risalah ini bisa zhahir dan mengguli semua semua system batil mengangkangi dunia ini.

Tapi pertanyaannya kenapa masih masih banyak orang mampu bertajarrud bekerja dengan sunguh-sungguh untuk urusan dunia, tetapi untuk urusan akhirat dan menjayakan agama ini masih banyak yang enggan. Dan yang paling parah kalau ada yang berkicau ke sana kemari sambil mengatakan bahwa bekerja dengan terorganisir dan terpogram tidak ada sunnah dari Rasulullah. Wallahul Musta’an.

0 komentar:

Posting Komentar

Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !

 
.::_Alumni STIBA Makassar_::.
© Sekretariat : Jl. Inspeksi PAM Manggala Makassar 90234 HP. (085 236 498 102) E-mail:alumni.stiba.mks@gmail.com |(5M) |Mu'min |Mushlih |Mujahid |Muta'awin |Mutqin