MENGAGUNGKAN ALLAH Ta’ala

11 September 2014 Label:
MENGAGUNGKAN ALLAH Ta’ala
          Seorang yang mengamati keadaan manusia sungguh akan merasa heran dengan jiwa-jiwa yang jika diingatkan tentang Allah Ta’ala tidak tergugah, jika diberikan nasihat tidak menjadi sadar dan jika dibacakan ayat-ayat tentang janji dan ancaman tidak menangis dan tidak terkesan. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan peringatan bagi seorang hamba jika ia tidak mengoreksi dirinya, melakukan muhasabah dan mengingatkannya tentang Allah Ta’ala. Boleh jadi faktor utama yang membuat manusia sampai seperti itu ialah karena tidak adanya perasaan mengagungkan Allah Ta’ala dalam hatinya dan jauh dari rasa takut kepadaNya.
          Dalam makalah yang singkat ini saya hendak menjelaskan tentang masalah yang urgens (penting) yaitu: mengagungkan Allah Ta’ala. Al fairus Abadi menyebutkan dalam "Al Qomus al Muhith" tentang makna التعظيم  . dia berkata  العظم   (kebesaran) adalah lawan kata الصغر (kecil).  عظمه وأعظمه   yakni  mengagungkan dan membesarkannya.  إستعظمه   yakni menganggapnya agung[1].
          Ar Razi berkata dlam Muktaarus Shihah: عظم الشيء yakni besar فهو عظيم (ia adalah sesuatu yang agung/besar[2].

          Ibnu Manzur berkata dalam "Lisanul 'Arab": العظيم   ialah yang melewati kadarnya dan lebih besar dari batasan-batasan akal[3].
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menurunkan kitab-kitab suciNya kecuali untuk mewujudkan sutu tujuan yang paling agung yakni mengabdi/beribadah kepadaNya dan menerapkan syariatNya. Dan ibadah tidak akan mungkin mencapai puncak kesempurnaannya kecuali dengan mengagungkan Zat yang disembah. Al Manawi menyebutkan tentang definisi ibadah: perbuatan seorang mukallaf yang bertentangan dengan hawa nafsunya dalam rangka mengagungkan Rabbnya. Sebagian lagi mengatakan bahwa ibadah adalah mengagungkan Allah dan melaksanakan perintah-perintahNya[4]. Dari definisi ini jelas tentang urgensi ta'dzimullah dan bahwa ia adalah ibadah yang kita diciptakan oleh Allah tidak lain kecuali untuk mewujudkannya.
          Ada nash-nash syar'i baik dari Al Quran maupun as sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan ta'dzimullah. Diantaranya firman Allah Ta’ala: "Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan". (qs. Al fatihah:5). Al Qurthubi berkata, "Kemudian ayat yang ke-empat, Allah Ta’ala menjadikan ayat ini antara Dia dan hambaNya, karena ayat ini mengandung  ( تذلل ) / penghambaan diri seorang hamba kepada Rabbnya dan permohonan bantuan dariNya dan hal itu mengandung pengagungan terhdap Allah Ta’ala.
          Dan firman Allah Ta’ala ketika Dia menyebutkan sifat-sifat hambaNya yang mu'min:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
"Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)". (Qs. Ar Ra'd:22).
Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, "Karena mencari keridhaan Tuhannya yakni karena mengagungkan Allah Ta’ala dan mensucikanNya agar jangan sampai ia menyalahi perintahNya atau melakukan suatu perkara yang Dia tidak sukai sehingga ia bermaksiat kepadaNya[5].
Firman Allah Ta’ala tentang kisah Nuh as, bersama kaumnya:
مَّالَكُمْ لاَتَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا
"Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah". (Qs. Nu:13). Berkata Abu Su'ud, "Maksudnya mengapa kamu tidak mengharapkan kebesaran bagiNya ? yakni pengagungan terhadap Zat yang disembah dan dita'ati[6].
Juga firman Allah Ta’ala tentang kisah para pemilik kebun:
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلاَ تُسَبِّحُون
Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Rabbmu)". (Qs. Al Qalam:28).
Ats Tsa'labi berkata, "Dikatakan ia adalah suatu ungkapan tentang mengagungkan Allah Ta’ala dan beramal untuk menta'ati Nya"[7].
Dan dari hadits yang diriwayatkan Jubair bin Muth'im ra, ia berkata, "Seorang Arab Baduy mendatangi Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam, jiwa-jiwa telah kepayahan, keluarga-keluarga telah terlantar, harta-harta telah habis dan hewan-hewan ternak telah binasa, maka mintalah hujan kepada Allah Ta’ala untuk kita, sesungguhnya kami memohon syafa'atmu kepada Allah Ta’ala dan memohon syafa'at Allah Ta’ala kepadamu untuk kita". Maka bersabdalah Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ingat (waspadalah !), tahukah engkau apa yang engkau ucapkan itu ? "Dan Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bertasbih, beliau terus bertasbih, sehingga dapat diketahui hal itu pada wajah-wajah sahabatnya, kemudian beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala tidak diminta syafa'atNya untuk seorang pun dari makhlukNya. Urusan Allah Ta’ala lebih agung daripad hal itu … "[8]. Orang Baduy tadi ketika berkata, "Kami memohon syafaat Allah Ta’ala kepadamu, "ia telah menjadikan Allah Ta’ala pada kedudukan pemberi syafaat disisi RasulNya, dan hal ini tentu mengurangi keagungan Allah Ta’ala. Oleh karena itu Rasul Sholallohu ‘alaihi wa sallam bertasbih dan mengingatkan si Baduy tadi akan kekeliruannya yang fatal ketika bersabda, "Ingat ! tahukah engkau tentang Allah Ta’ala ? sesungguhnya urusan Allah Ta’ala lebih agung dari itu, … dst".
          Agar kita dapat menangkap hakikat pengagungan ini –wahai saudaraku yang mulia- marilah kita renungkan contoh berikut ini: lihatlah keadaan para pengawal (pelayan) raja-raja, amir-amir dan kepala-kepala Negara. Engkau lihat salah seorang dari mereka, ia tidak mampu untuk menolak perintah sang raja atau kepala Negara tersebut dan tidak juga melanggar larangannya sehingga meskipun perintah atau larangan tersebut membuat mudharat pada fisiknya atau hartanya atau keluarganya. Dan ketika kita tanya ia tentang rahasia ketaatannya yang sedemikian rupa, kita dapati bahwa pengagungannya kepada raja tersebutlah yang merupakan sebab hakiki ketaatannya ini. Jadi, pengagungan akan memunculkan dalam jiwa rasa takut terhadap yang diagungkan.
          Oleh karena itu para ulama umat tak henti-hentinya berupaya dengan sunguh-sungguh dalam mengingatkan manusia tentang masalah mengagungkan Allah Ta’ala. Inilah Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab menyusun kitabut Tauhid, dan beliau menjelaskan di dalamnya tentang masalah-masalah aqidah, kemudian mengakhiri kitabnya dengan beberapa bab yang semuanya berkaitan dengan mengagungkan Allah Ta’ala, seperti: Bab tentang siapa yang tidak puas dengan sumpah atas nama Allah Ta’ala; bab menjuluki dengan qadhil qhudhat; bab menghormati nama-nama Allah Ta’ala; bab tidak boleh ditolak siapa yang meminta karena Allah Ta’ala; bab firman Allah Ta’ala :
وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ
"Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya". (qs. Az Zumar:67). 
Dan  ini bab terakhir yang beliau sebutkan dalam kitabnya yang berharga.
Akan tetapi apakah kita mengagungkan Allah Ta’ala atau tidak ? untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat keadaan kita saat mengerjakan suatu ketaatan; apakah kita mengerjakannya dengan penuh rasa harap dan takut ? ataukah ketaatan tersebut telah menjadi adat yang kita lakukan setiap hari tanpa kita sadari tujuan  dari pelaksanaannya ? apakah seorang wanita ketika mengenakan hijab syar'i ia mengenakannya karena itu merupakan syari'at Allah Ta’ala ataukah karena itu merupakan suatu tradisi yang diwarisi ? demikian juga kita lihat keadaan kita ketika melakukan ma'siat. Apakah kita merasa seakan-akan kita berada di bawah gunung yang hampir menjatuhi kita ataukah seperti seekor lalat yang hinggap di hidung kita lalu ditepisnya begitu saja ? demikian juga kita lihat keadaan kita saat menunaikan shalat dan berdiri untuk Rabbal 'Alamin, apakah kita merasakan keagungan zat yang kita hadapi sehingga kita khusyu' dalam shalat kita ataukah kita disibukkan oleh fikiran-fikiran dan bisikan-bisikan ? apakah ketika kita menghadap seorang raja dari raja-raja dunia kita berbuat disisinya seperti yang kita perbuat dalam shalat kita ? apabila kita jawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan penuh tajarrud (objektif) maka kita akan tahu dengan yakin apakah kita telah mengagungkan Allah Ta’ala atau tidak.
          Saudaraku yang mulia !! cobalah kita perhatikan keadaan mereka-mereka yang mengagungkan Allah Ta’ala disaat mereka berdiri untuk shalat. Mujahid berkata, Adalah salah seorang dari mereka jika berdiri untuk shalat dia takut kepada ar Rohman jika pandangannya sampai tertarik kepada sesuatu, atau menoleh atau membalik kerikil, atau main-main dengan sesuatu, atau terlintas dalam jiwanya sesuatu dari urusan dunia kecuali terlupa selama ia dalam shalatnya. Ibnu Zubair jika berdiri dalam shalatnya seakan-akan ia batang pohon karena khusyu'nya. Pernah ketika ia sujud sebuah manjaniq (lemparan batu) mengenai sebagian pakaiannya akan tetapi ia tidak mengangkat kepalanya dari sujudnya. Maslamah bin Basyar pernah shalat dimasjid, tiba-tiba satu bagian dari masjid itu runtuh, maka orang-orang bangun (berlari) sedangkan ia dalam shalatnya tidak berasa (akan hal itu). Ali bin Abi Thalib ra, jika datang waktu shalat ia berguncang dan pucat wajahnya. Maka dikatakan kepadanya, "Kenapa engkau begitu ? maka ia berkata, "Telah datang –wallahi- waktu amanah yang Allah Ta’ala telah tawarkan kepada langit-langit, bumi, gunung-gunung, akan tetapi mereka enggan untuk memikulnya dan merasa takut darinya dan aku memikulnya. Said at Tanukhi jika ia shalat, air matanya tidak henti-hentinya mengalir dari kedua pipinya ke janggutnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jika ia masuk dalam shalat anggota tubuhnya bergetar sehinga ia miring ke kanan dan ke kiri[9]. Ini adalah sekelumit dari lautan berita-berita dan keadaan mereka yang mengagungkan Allah Ta’ala. Ya Allah Ta’ala, sebagaimana Engkau telah menganugerahi mereka pengagunganMu, maka karuniakanlah kepada kami hal itu …….. wahai yang maha Mendengar do'a.
Bahkan termasuk hal aneh, bahwa orang-orang kafir Quraisy di dalam hati mereka ada sesuatu dari pengagungan  Allah Ta’ala, inilah beberapa bukti atas hal itu:
Kisah Uthbah bin Robi'ah ketika Rasul Sholallohu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya awal-awal dari surat Fushilat, ketika beliau sampai pada:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ عَادٍ وَثَمُودَ
Jika mereka berpaling maka katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Aad dan kaum Tsamud". (QS. Fushilat(41):13)
          Uthbah meletakkan tangannya pada mulut Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan ia minta kepada beliau atas nama Allah Ta’ala dan kekerabatan agar beliau berhenti[10].
Kisah Jubair bin Muth'im, bahwa ia berkata, "Saya mendengar Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam membaca pada shalat maghrib surat ath Thur, ketika beliau sampai pada :
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ . أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بَل لاَّيُوقِنُونَ . أَمْ عِندَهُمْ خَزَآئِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُونَ
Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri). Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu; sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa ? (QS. 52:35-37), hampir-hampir jantungku terbang". (HR. Bukhori, kitabut Tafsir, 8/603, no.4854).
3.    Pernah Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam di sisi Ka'bah sementara di sekitar beliau tokoh-tokoh Quraisy, maka Beliau membacakan kepada mereka surat an Najm. Ketika sampai ayat sajadah di akhir surat, beliau sujud dan mereka pun ikut sujud bersama beliau[11].
Inilah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kaum kuffar Quraisy meskipun mereka kufur dan syirik akan tetapi dalam hati mereka ada sedikit pengagungan terhadap Allah Ta’ala. Syaikhul Islam berkata, "Kaum musyrikin tidaklah mengingkari penyembahan kepada Allah Ta’ala  dan mengagungkanNya, akan tetapi mereka menyembah Ilah-ilah lain disamping Allah Ta’ala [12].
Saudaraku yang mulia ...... ! tidak adanya pengagungan terhadap Allah Ta’ala  dalam hati merupakan sesuatu yang kita akan ditanya kelak. Karena itu hendaklah kita melakukan muhasabah, mengoreksi diri dan meluruskan jiwa dan memperhatikan hubungan kita dengan Rabb 'Azza wa Jalla.
Boleh jadi sebab-sebab utama tidak adanya pengagungan terhadap Allah Ta’ala  adalah sebagai berikut:
1. Terjatuh dalam maksiat, ini adalah suatu malapetaka. Ia merupakan sebab ujian dan musibah serta terjauh dari Allah Ta’ala . Ibnul Qayyim berkata, "Dan cukuplah hukuman bagi orang-orang yang berbuat maksiat itu menjadi lemah dalam hatinya rasa pengagungan terhadap Allah Ta’ala  dan pengagungan terhadap larangan-laranganNya dan menjadi remeh baginya hakNya; dan sebagai hukuman atas hal ini diangkatnya (dicabutnya) oleh Allah Ta’ala  kewibawaan dirinya dari hati-hati makhluk dan ia diremehkan oleh sebagian manusia sebagaimana ia meremehkan perintah Allah Ta’ala  dan menganggap enteng"[13]. Berkata Bisyir bin al Harits, "Seandainya manusia mau memikirkan tentang keagungan Allah Ta’ala  niscaya mereka tidak akan maksiat kepada Allah Ta’ala.
2. Menggampangkan perintah-perintah Allah Ta’ala. Engkau lihat banyak dari manusia yang tidak menunaikan ibadah dengan cara yang semestinya. Seandainya mereka mengagungkan Allah Ta’ala  dengan sebenar-benarnya pengagungan, niscaya mereka akan mengagungkan perintah-perintahNya.

3. Tidak mentadabburi al Qur'an saat membacanya dan tidak memperhatikan janji-janji, khabar gembira dan ancamannya. Perhatian orang yang membacanya hanyalah pada bagaimana  mengakhiri surat yang dibacanya, tanpa memperhatikan maksud diturunkannya al Qur'an.
Allah Ta’ala  berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS. Shod(38):29)
4. Lalai dari zikrullah. Engkau dapati salah seorang dari kita dirumah sakit atau di kantor-kantor pemerintahan, duduk diruang tunggu dalam waktu yang lama tanpa berzikir, bertasbih atau bertakbir, kalaupun ia bertasbih atau bertakbir maka ia tidak memahami makna tasbih dan takbirnya. Dan ini adalah suatu masalah yang harus kita terapi pada diri-diri kita.
5. Memandang kepada apa yang diharamkan Allah Ta’ala. Pandangan yang haram akan melahirkan kekerasan hati (qaswatul qalb), dan hal ini tidak sejalan dengan ta'dzim (pengagungan), karena ta'dzim tidak akan muncul kecuali dari hati yang tunduk, khusyu', dan lembut serta menghadap kepada Allah Ta’ala dengan sepenuhnya.
          Oleh karena itu tidaklah heran jika salafus shaleh adalah orang-orang yang paling mengagungkan Allah Ta’ala, karena mereka adalah orang-orang yang paling sungguh-sungguh dalam mentaati Allah Ta’ala dan paling menjauhi maksiat.
Al Qanuji berkata, "Mereka –yakni salafus shaleh- sangat mengagungkan Allah Ta’ala dan mensucikanNya dari apa-apa yang tidak layak bagiNya"[14]. Ibnu Mundih berkata dalam kitab al Iman, "Hamba-hamba Allah Ta’ala bertingkat-tingkat dalam hal keimannya sesuai dengan kadar pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Ta’ala dalam hati mereka dan adanya rasa pengawasan Allah Ta’ala dalam hati mereka dalam keadaan sendiri maupun di tengah keramaian"[15].
          Saudaraku yang mulia …. !  setelah ini semua, maka marilah kita membahas hal-hal yang membantu/mendorong pengagungan terhadap Allah Ta’ala dan ia cukup banyak, alhamdulillah. Akan tetapi sebelum kita uraikan, perlu kita ingatkan di sini akan suatu hal yang penting yaitu; seorang muslim jika ingin termasuk orang-orang yang mengagungkan Allah Ta’ala  dengan sebenarnya, maka ia harus memiliki niat yang jujur yang akan mendorongnya untuk sampai pada tujuan ini. Dan hendaknya keinginannya untuk mengagungkan Allah Ta’ala itu muncul dari kesadarannya akan pentingnya ta'zhimullah, dan hendaknya ia mencari dengan amalnya itu wajah Allah, bukan untuk dipuji atau disanjung orang.
Adapun hal-hal yang akan mendorong ta'zhimullah itu sebagai berikut:
1.     Mewujudkan 'Ubudiyyah (penghambaan) yang sempurna terhadap Allah Ta’ala. Seorang hamba semakin ia mendekatkan diri kepada Rabb-Nya dengan berbagai bentuk ibadah niscaya akan menjadi agung dalam hatinya perintah Allah, maka engkau lihat ia bersegera dalam mengerjakan ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan keburukan. Syaikhul Islam berkata; "Semakin hamba itu bertambah dalam mewujudkan 'ubudiyyahnya, maka semakin bertambah kesempurnaannya dan menjadi tinggi derajatnya" [16]
2.    Tadabbur dengan teliti terhadap Al-Qur'an, hikmah-hikmah dan hukum-hukumnya, dan mencermati pelajaran dan 'ibrah-'ibrahnya. Hendaknya kita tadabburi ayat-ayat yang berbicara tentang ciptaan Allah Ta’ala dan keindahan ciptaan-Nya, ayat-ayat yang berbicara tentang hukuman dan siksaan-Nya yang keras, dan ayat-ayat tentang janji serta ancaman. Tidak diragukan bahwa tadabbur Al-Qur'an akan berpengaruh dalam hati dan akan kian menumbuhkan ta'zhimullah serta rasa takut kepada-Nya. Berkata Syaikh Abdurrahman bin Qasim, penulis Hasyiyah ar Raudh, "Bahkan membaca satu ayat dengan tadabbur dan tafahhum (memahami) lebih baik daripada membaca sampai khatam tapi tanpa tadabbur dan tafahhum, dan lebih manfaat bagi hati serta lebih menghasilkan iman dan merasakan kemanisan iman. Demikianlah qiraahnya Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para salaf sesudahnya, sehingga satu ayat itu di ulang-ulang sampai pagi. Dan inilah asal kebaikan/kesalihan hati. Termasuk dari tipu daya syetan ia membuat para hamba Allah Ta’ala menjauhi tadabbur Al Quran, karena ia tahu bahwa petunjuk itu akan datang dengan mentadaburi Al Quran[17].
3.    Mentafakkuri penciptaan langit dan bumi, karena seorang yang mengamatinya pasti akan terkagum dengan keindahan ciptaan, kebesaran serta kekuasaanNya. Meskipun begitu ia tidak melihat padanya ada keretakan atau pecah. Allah Ta’ala berfirman.
"Yang telah menciptakan 7 lapis langit. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang, maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang ? kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (qs. Al Mulk:3-4)
Oleh karena itu Allah Ta’ala memuji hamba-hambaNya yang mau mentafakkuri penciptaan langit dan bumi. Allah Ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Ali Imran ( 3):191).        
Di antara hadits-hadits yang menunjukkan tentang kebesaran langit adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Al Gifari ra, bahwa Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة ملقة بأرض فلاة وفضل العرش على الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة.
"Tidaklah langit-langit yang 7 jika dibandingkan dengan al kursi kecuali seperti gelang yang terlempar di padang pasir, dan kelebihan 'Arsy dibandingkan kursi seperti kelebihan padang pasir tersebut dibandingkan gelang tersebut". (HR. Ibnu Abi Syaibah, dishohihkan oleh al Albani).
Hadits ini menerangkan tentang kebesaran langit-langit, Kursi, dan 'Arsy. Sementara kita –anak cucu Adam- tidak ada artinya dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang besar itu, meskipun demikian Allah Ta’ala berfirman –tentang langit dan bumi-:
"Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, "Datanglah kamu keduanya menuju perintahKu dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati". (qs. Fushilat (41):11).

Asy Syaukani berkata, "Yakni kami laksanakan perintahMu dengan penuh ketundukan". Maka, subhanallah ! bagaimana manusia yang lemah dan hina ini takabbur dan menantang penguasa langit dan bumi dengan maksiat dan dosa-dosa  ? kita mohon kepada  Allah Ta’ala keselamatan dan 'afiat.
4. Memperhatikan keadaan orang-orang yang lewat; di bumi ini pernah hidup kaum-kaum dan bangsa-bangsa yang Allah Ta’ala berikan mereka itu kekuatan dan kelapangan fisik yang tidak pernah Dia berikan kepada umat yang lain. Akan tetapi mereka kufur kepada Allah Ta’ala dan mendustakan Rasul-rasulNya, maka Allah Ta’ala timpakan kepada mereka kelaparan, rasa takut, dan Allah Ta’ala hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Inilah kaum 'Aad yang pernah berkata, "Siapakah yang lebih kuat daripada kita ?". Allah Ta’ala binasakan mereka itu dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang. Yang Allah Ta’ala, timpakan kepada mereka itu selama 7 malam dan 8 hari terus menerus; maka kamu lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon korma yang telah kosong (lapuk). (qs. Al Haqqah (69):6-7). Dan inilah Tsamud yang pernah membuat rumah dari gunung-gunung, Allah Ta’ala binasakan mereka dengan suara keras yang mengguntur, maka mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka. (qs. Hud (11):67). Dan Allah Ta’ala tidak sulit menyiksa umat-umat tersebut dan tidak pernah Allah Ta’ala merasa sulit. Sesungguhnya urusanNya jika Dia menghendaki sesuatu cukuplah Dia mengucapkan "Kun" maka jadilah sesuatu itu. Maka bagaimana dengan kita-kita yang lemah dan kecil ini tidak takut tertimpa seperti apa yang pernah menimpa mereka itu ?
5. Doa. Ia adalah obat yang paling bermanfaat dan sebab yang paling kuat jika disertai dengan kehadiran hati dan kejujuran niat, karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan siapa yang mengharapNya.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah(2):186)
Ya Allah Ta’ala, kami mohon kepadaMu pengagunganMu dan rasa takut kepadaMu, dan anugerahkanlah kepada kami taubat yang jujur yang akan membantu kami untuk ment'atiMu dan menjauhi maksiat terhadapMu.
والله أعلم، و صلى الله عليه و سلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
[1] Al Qamus al muhith Il1470.
[2] Mukhtarus shihah h.185
[3] Lisanul 'Arab 12/409
[4]  At Ta'aariif, 498.
[5]  Tafsir ath Thobari, 13/140.
[6]  tafsir Abus Su'ud, 9/38
[7] tafsir ath Tsa'labi, 4/328
[8] HR. Abu Daud, kitabus Sunnah, bab filJahmiayah (5/94-96), dishohehkan Ibnul Qoyyim dalam Tahdzibus  Sunan, (7/95-117), di dhoifkan Al Albani, tahrij kitabus Sunnah Ibnu Abi 'Ashim, (1/252).
[9] 33 Sababan lil Khusyu', h.35-59.
[10] Tafsir al Qurthubi, 15/221.
[11] Ar Rohiqul Mahtum, 107. shahih Bukhori, 2/553, no.1071.
[12] majmu Fatawa, 21/282.
[13] Al Jawabul kaafi, h.46.
[14] qothfus Tsimar fi Bayaani aqidah ahlil atsar, 48.
[15] Kitabul Iman, 1/300.
[16] Kitabul Iman, 1/300.
[17] Hasyiyatur Roudh,2/207.

0 komentar:

Posting Komentar

Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !

 
.::_Alumni STIBA Makassar_::.
© Sekretariat : Jl. Inspeksi PAM Manggala Makassar 90234 HP. (085 236 498 102) E-mail:alumni.stiba.mks@gmail.com |(5M) |Mu'min |Mushlih |Mujahid |Muta'awin |Mutqin