MENGAGUNGKAN ALLAH Ta’ala
Seorang yang mengamati keadaan
manusia sungguh akan merasa heran dengan jiwa-jiwa yang jika diingatkan tentang
Allah Ta’ala tidak tergugah, jika diberikan nasihat tidak menjadi sadar dan
jika dibacakan ayat-ayat tentang janji dan ancaman tidak menangis dan tidak
terkesan. Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini merupakan peringatan bagi seorang
hamba jika ia tidak mengoreksi dirinya, melakukan muhasabah dan mengingatkannya
tentang Allah Ta’ala. Boleh jadi faktor utama yang membuat manusia sampai
seperti itu ialah karena tidak adanya perasaan mengagungkan Allah Ta’ala dalam
hatinya dan jauh dari rasa takut kepadaNya.
Dalam makalah yang singkat ini saya
hendak menjelaskan tentang masalah yang urgens (penting) yaitu: mengagungkan Allah
Ta’ala. Al fairus Abadi menyebutkan dalam "Al Qomus al Muhith"
tentang makna التعظيم . dia berkata
العظم (kebesaran) adalah lawan kata الصغر (kecil). عظمه وأعظمه yakni
mengagungkan dan membesarkannya. إستعظمه yakni menganggapnya agung[1].
Ar Razi berkata dlam Muktaarus
Shihah: عظم الشيء yakni besar فهو عظيم (ia adalah sesuatu
yang agung/besar[2].
Ibnu Manzur berkata dalam
"Lisanul 'Arab": العظيم ialah yang melewati kadarnya dan lebih besar
dari batasan-batasan akal[3].
Sesungguhnya Allah Ta’ala
tidaklah menurunkan kitab-kitab suciNya kecuali untuk mewujudkan sutu tujuan
yang paling agung yakni mengabdi/beribadah kepadaNya dan menerapkan syariatNya.
Dan ibadah tidak akan mungkin mencapai puncak kesempurnaannya kecuali dengan
mengagungkan Zat yang disembah. Al Manawi menyebutkan tentang definisi ibadah:
perbuatan seorang mukallaf yang bertentangan dengan hawa nafsunya dalam rangka
mengagungkan Rabbnya. Sebagian lagi mengatakan bahwa ibadah adalah mengagungkan
Allah dan melaksanakan perintah-perintahNya[4]. Dari definisi ini jelas tentang
urgensi ta'dzimullah dan bahwa ia adalah ibadah yang kita diciptakan oleh Allah
tidak lain kecuali untuk mewujudkannya.
Ada nash-nash syar'i baik dari Al
Quran maupun as sunnah yang menjelaskan tentang keutamaan ta'dzimullah.
Diantaranya firman Allah Ta’ala: "Hanya kepadaMu kami beribadah dan hanya
kepadaMu kami memohon pertolongan". (qs. Al fatihah:5). Al Qurthubi
berkata, "Kemudian ayat yang ke-empat, Allah Ta’ala menjadikan ayat ini
antara Dia dan hambaNya, karena ayat ini mengandung ( تذلل
) / penghambaan diri seorang hamba kepada Rabbnya dan permohonan bantuan
dariNya dan hal itu mengandung pengagungan terhdap Allah Ta’ala.
Dan firman Allah Ta’ala ketika Dia
menyebutkan sifat-sifat hambaNya yang mu'min:
وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ
وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ
السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
"Dan orang-orang yang sabar
karena mencari keridhaan Rabbnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian
rejeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan
serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat
tempat kesudahan (yang baik)". (Qs. Ar Ra'd:22).
Ibnu Jarir Ath Thobari berkata,
"Karena mencari keridhaan Tuhannya yakni karena mengagungkan Allah Ta’ala
dan mensucikanNya agar jangan sampai ia menyalahi perintahNya atau melakukan
suatu perkara yang Dia tidak sukai sehingga ia bermaksiat kepadaNya[5].
Firman Allah Ta’ala tentang kisah
Nuh as, bersama kaumnya:
مَّالَكُمْ لاَتَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا
"Mengapa kamu tidak percaya
akan kebesaran Allah". (Qs. Nu:13). Berkata Abu Su'ud, "Maksudnya
mengapa kamu tidak mengharapkan kebesaran bagiNya ? yakni pengagungan terhadap
Zat yang disembah dan dita'ati[6].
Juga firman Allah Ta’ala tentang
kisah para pemilik kebun:
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلاَ تُسَبِّحُون
Berkatalah seorang yang paling
baik pikirannya di antara mereka: "Bukankah aku telah mengatakan kepadamu,
hendaklah kamu bertasbih (kepada Rabbmu)". (Qs. Al Qalam:28).
Ats Tsa'labi berkata,
"Dikatakan ia adalah suatu ungkapan tentang mengagungkan Allah Ta’ala dan
beramal untuk menta'ati Nya"[7].
Dan dari hadits yang diriwayatkan
Jubair bin Muth'im ra, ia berkata, "Seorang Arab Baduy mendatangi
Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan berkata, "Ya Rasulallah Sholallohu
‘alaihi wa sallam, jiwa-jiwa telah kepayahan, keluarga-keluarga telah
terlantar, harta-harta telah habis dan hewan-hewan ternak telah binasa, maka
mintalah hujan kepada Allah Ta’ala untuk kita, sesungguhnya kami memohon
syafa'atmu kepada Allah Ta’ala dan memohon syafa'at Allah Ta’ala kepadamu untuk
kita". Maka bersabdalah Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Ingat (waspadalah !), tahukah engkau apa yang engkau ucapkan itu ?
"Dan Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bertasbih, beliau terus
bertasbih, sehingga dapat diketahui hal itu pada wajah-wajah sahabatnya,
kemudian beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya Allah Ta’ala tidak
diminta syafa'atNya untuk seorang pun dari makhlukNya. Urusan Allah Ta’ala
lebih agung daripad hal itu … "[8]. Orang Baduy tadi ketika berkata,
"Kami memohon syafaat Allah Ta’ala kepadamu, "ia telah menjadikan Allah
Ta’ala pada kedudukan pemberi syafaat disisi RasulNya, dan hal ini tentu
mengurangi keagungan Allah Ta’ala. Oleh karena itu Rasul Sholallohu ‘alaihi wa
sallam bertasbih dan mengingatkan si Baduy tadi akan kekeliruannya yang fatal
ketika bersabda, "Ingat ! tahukah engkau tentang Allah Ta’ala ?
sesungguhnya urusan Allah Ta’ala lebih agung dari itu, … dst".
Agar kita dapat menangkap hakikat
pengagungan ini –wahai saudaraku yang mulia- marilah kita renungkan contoh
berikut ini: lihatlah keadaan para pengawal (pelayan) raja-raja, amir-amir dan
kepala-kepala Negara. Engkau lihat salah seorang dari mereka, ia tidak mampu
untuk menolak perintah sang raja atau kepala Negara tersebut dan tidak juga
melanggar larangannya sehingga meskipun perintah atau larangan tersebut membuat
mudharat pada fisiknya atau hartanya atau keluarganya. Dan ketika kita tanya ia
tentang rahasia ketaatannya yang sedemikian rupa, kita dapati bahwa
pengagungannya kepada raja tersebutlah yang merupakan sebab hakiki ketaatannya
ini. Jadi, pengagungan akan memunculkan dalam jiwa rasa takut terhadap yang
diagungkan.
Oleh karena itu para ulama umat tak
henti-hentinya berupaya dengan sunguh-sungguh dalam mengingatkan manusia
tentang masalah mengagungkan Allah Ta’ala. Inilah Syaikhul Islam Muhammad bin
Abdul Wahab menyusun kitabut Tauhid, dan beliau menjelaskan di dalamnya tentang
masalah-masalah aqidah, kemudian mengakhiri kitabnya dengan beberapa bab yang
semuanya berkaitan dengan mengagungkan Allah Ta’ala, seperti: Bab tentang siapa
yang tidak puas dengan sumpah atas nama Allah Ta’ala; bab menjuluki dengan
qadhil qhudhat; bab menghormati nama-nama Allah Ta’ala; bab tidak boleh ditolak
siapa yang meminta karena Allah Ta’ala; bab firman Allah Ta’ala :
وَمَاقَدَرُوا اللهَ حَقَّ قَدْرِهِ
"Dan mereka tidak
mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya". (qs. Az
Zumar:67).
Dan ini bab terakhir yang beliau sebutkan dalam
kitabnya yang berharga.
Akan tetapi apakah kita
mengagungkan Allah Ta’ala atau tidak ? untuk menjawab pertanyaan ini kita harus
melihat keadaan kita saat mengerjakan suatu ketaatan; apakah kita
mengerjakannya dengan penuh rasa harap dan takut ? ataukah ketaatan tersebut
telah menjadi adat yang kita lakukan setiap hari tanpa kita sadari tujuan dari pelaksanaannya ? apakah seorang wanita
ketika mengenakan hijab syar'i ia mengenakannya karena itu merupakan syari'at Allah
Ta’ala ataukah karena itu merupakan suatu tradisi yang diwarisi ? demikian juga
kita lihat keadaan kita ketika melakukan ma'siat. Apakah kita merasa
seakan-akan kita berada di bawah gunung yang hampir menjatuhi kita ataukah
seperti seekor lalat yang hinggap di hidung kita lalu ditepisnya begitu saja ?
demikian juga kita lihat keadaan kita saat menunaikan shalat dan berdiri untuk
Rabbal 'Alamin, apakah kita merasakan keagungan zat yang kita hadapi sehingga
kita khusyu' dalam shalat kita ataukah kita disibukkan oleh fikiran-fikiran dan
bisikan-bisikan ? apakah ketika kita menghadap seorang raja dari raja-raja
dunia kita berbuat disisinya seperti yang kita perbuat dalam shalat kita ?
apabila kita jawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan penuh tajarrud (objektif)
maka kita akan tahu dengan yakin apakah kita telah mengagungkan Allah Ta’ala
atau tidak.
Saudaraku yang mulia !! cobalah kita
perhatikan keadaan mereka-mereka yang mengagungkan Allah Ta’ala disaat mereka
berdiri untuk shalat. Mujahid berkata, Adalah salah seorang dari mereka jika
berdiri untuk shalat dia takut kepada ar Rohman jika pandangannya sampai
tertarik kepada sesuatu, atau menoleh atau membalik kerikil, atau main-main
dengan sesuatu, atau terlintas dalam jiwanya sesuatu dari urusan dunia kecuali
terlupa selama ia dalam shalatnya. Ibnu Zubair jika berdiri dalam shalatnya
seakan-akan ia batang pohon karena khusyu'nya. Pernah ketika ia sujud sebuah
manjaniq (lemparan batu) mengenai sebagian pakaiannya akan tetapi ia tidak
mengangkat kepalanya dari sujudnya. Maslamah bin Basyar pernah shalat dimasjid,
tiba-tiba satu bagian dari masjid itu runtuh, maka orang-orang bangun (berlari)
sedangkan ia dalam shalatnya tidak berasa (akan hal itu). Ali bin Abi Thalib
ra, jika datang waktu shalat ia berguncang dan pucat wajahnya. Maka dikatakan
kepadanya, "Kenapa engkau begitu ? maka ia berkata, "Telah datang
–wallahi- waktu amanah yang Allah Ta’ala telah tawarkan kepada langit-langit,
bumi, gunung-gunung, akan tetapi mereka enggan untuk memikulnya dan merasa takut
darinya dan aku memikulnya. Said at Tanukhi jika ia shalat, air matanya tidak
henti-hentinya mengalir dari kedua pipinya ke janggutnya. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah jika ia masuk dalam shalat anggota tubuhnya bergetar sehinga ia
miring ke kanan dan ke kiri[9]. Ini adalah sekelumit dari lautan berita-berita
dan keadaan mereka yang mengagungkan Allah Ta’ala. Ya Allah Ta’ala, sebagaimana
Engkau telah menganugerahi mereka pengagunganMu, maka karuniakanlah kepada kami
hal itu …….. wahai yang maha Mendengar do'a.
Bahkan termasuk hal aneh, bahwa
orang-orang kafir Quraisy di dalam hati mereka ada sesuatu dari
pengagungan Allah Ta’ala, inilah
beberapa bukti atas hal itu:
Kisah Uthbah bin Robi'ah ketika
Rasul Sholallohu ‘alaihi wa sallam membacakan kepadanya awal-awal dari surat
Fushilat, ketika beliau sampai pada:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَقُلْ أَنذَرْتُكُمْ صَاعِقَةً مِّثْلَ صَاعِقَةِ
عَادٍ وَثَمُودَ
Jika mereka berpaling maka
katakanlah: "Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir
yang menimpa kaum 'Aad dan kaum Tsamud". (QS. Fushilat(41):13)
Uthbah meletakkan tangannya pada
mulut Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan ia minta kepada beliau atas
nama Allah Ta’ala dan kekerabatan agar beliau berhenti[10].
Kisah Jubair bin Muth'im, bahwa
ia berkata, "Saya mendengar Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam membaca pada
shalat maghrib surat ath Thur, ketika beliau sampai pada :
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَىْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ . أَمْ خَلَقُوا
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بَل لاَّيُوقِنُونَ . أَمْ عِندَهُمْ خَزَآئِنُ رَبِّكَ
أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُونَ
Apakah mereka diciptakan tanpa
sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri). Ataukah
mereka telah menciptakan langit dan bumi itu; sebenarnya mereka tidak meyakini
(apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu
atau merekakah yang berkuasa ? (QS. 52:35-37), hampir-hampir jantungku
terbang". (HR. Bukhori, kitabut Tafsir, 8/603, no.4854).
3. Pernah Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa
sallam di sisi Ka'bah sementara di sekitar beliau tokoh-tokoh Quraisy, maka
Beliau membacakan kepada mereka surat an Najm. Ketika sampai ayat sajadah di
akhir surat, beliau sujud dan mereka pun ikut sujud bersama beliau[11].
Inilah bukti-bukti yang
menunjukkan bahwa kaum kuffar Quraisy meskipun mereka kufur dan syirik akan
tetapi dalam hati mereka ada sedikit pengagungan terhadap Allah Ta’ala.
Syaikhul Islam berkata, "Kaum musyrikin tidaklah mengingkari penyembahan
kepada Allah Ta’ala dan mengagungkanNya,
akan tetapi mereka menyembah Ilah-ilah lain disamping Allah Ta’ala [12].
Saudaraku yang mulia ...... !
tidak adanya pengagungan terhadap Allah Ta’ala
dalam hati merupakan sesuatu yang kita akan ditanya kelak. Karena itu
hendaklah kita melakukan muhasabah, mengoreksi diri dan meluruskan jiwa dan
memperhatikan hubungan kita dengan Rabb 'Azza wa Jalla.
Boleh jadi sebab-sebab utama
tidak adanya pengagungan terhadap Allah Ta’ala
adalah sebagai berikut:
1. Terjatuh dalam maksiat, ini
adalah suatu malapetaka. Ia merupakan sebab ujian dan musibah serta terjauh
dari Allah Ta’ala . Ibnul Qayyim berkata, "Dan cukuplah hukuman bagi
orang-orang yang berbuat maksiat itu menjadi lemah dalam hatinya rasa
pengagungan terhadap Allah Ta’ala dan
pengagungan terhadap larangan-laranganNya dan menjadi remeh baginya hakNya; dan
sebagai hukuman atas hal ini diangkatnya (dicabutnya) oleh Allah Ta’ala kewibawaan dirinya dari hati-hati makhluk dan
ia diremehkan oleh sebagian manusia sebagaimana ia meremehkan perintah Allah
Ta’ala dan menganggap enteng"[13].
Berkata Bisyir bin al Harits, "Seandainya manusia mau memikirkan tentang
keagungan Allah Ta’ala niscaya mereka
tidak akan maksiat kepada Allah Ta’ala.
2. Menggampangkan
perintah-perintah Allah Ta’ala. Engkau lihat banyak dari manusia yang tidak
menunaikan ibadah dengan cara yang semestinya. Seandainya mereka mengagungkan Allah
Ta’ala dengan sebenar-benarnya
pengagungan, niscaya mereka akan mengagungkan perintah-perintahNya.
3. Tidak mentadabburi al Qur'an
saat membacanya dan tidak memperhatikan janji-janji, khabar gembira dan
ancamannya. Perhatian orang yang membacanya hanyalah pada bagaimana mengakhiri surat yang dibacanya, tanpa memperhatikan
maksud diturunkannya al Qur'an.
Allah Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya
dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran. (QS.
Shod(38):29)
4. Lalai dari zikrullah. Engkau
dapati salah seorang dari kita dirumah sakit atau di kantor-kantor
pemerintahan, duduk diruang tunggu dalam waktu yang lama tanpa berzikir,
bertasbih atau bertakbir, kalaupun ia bertasbih atau bertakbir maka ia tidak
memahami makna tasbih dan takbirnya. Dan ini adalah suatu masalah yang harus
kita terapi pada diri-diri kita.
5. Memandang kepada apa yang
diharamkan Allah Ta’ala. Pandangan yang haram akan melahirkan kekerasan hati
(qaswatul qalb), dan hal ini tidak sejalan dengan ta'dzim (pengagungan), karena
ta'dzim tidak akan muncul kecuali dari hati yang tunduk, khusyu', dan lembut
serta menghadap kepada Allah Ta’ala dengan sepenuhnya.
Oleh karena itu tidaklah heran jika salafus
shaleh adalah orang-orang yang paling mengagungkan Allah Ta’ala, karena mereka
adalah orang-orang yang paling sungguh-sungguh dalam mentaati Allah Ta’ala dan
paling menjauhi maksiat.
Al Qanuji berkata, "Mereka
–yakni salafus shaleh- sangat mengagungkan Allah Ta’ala dan mensucikanNya dari
apa-apa yang tidak layak bagiNya"[14]. Ibnu Mundih berkata dalam kitab al
Iman, "Hamba-hamba Allah Ta’ala bertingkat-tingkat dalam hal keimannya
sesuai dengan kadar pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Ta’ala dalam hati
mereka dan adanya rasa pengawasan Allah Ta’ala dalam hati mereka dalam keadaan
sendiri maupun di tengah keramaian"[15].
Saudaraku yang mulia …. ! setelah ini semua, maka marilah kita membahas
hal-hal yang membantu/mendorong pengagungan terhadap Allah Ta’ala dan ia cukup
banyak, alhamdulillah. Akan tetapi sebelum kita uraikan, perlu kita ingatkan di
sini akan suatu hal yang penting yaitu; seorang muslim jika ingin termasuk
orang-orang yang mengagungkan Allah Ta’ala
dengan sebenarnya, maka ia harus memiliki niat yang jujur yang akan
mendorongnya untuk sampai pada tujuan ini. Dan hendaknya keinginannya untuk
mengagungkan Allah Ta’ala itu muncul dari kesadarannya akan pentingnya
ta'zhimullah, dan hendaknya ia mencari dengan amalnya itu wajah Allah, bukan
untuk dipuji atau disanjung orang.
Adapun hal-hal yang akan
mendorong ta'zhimullah itu sebagai berikut:
1. Mewujudkan 'Ubudiyyah (penghambaan) yang
sempurna terhadap Allah Ta’ala. Seorang hamba semakin ia mendekatkan diri kepada
Rabb-Nya dengan berbagai bentuk ibadah niscaya akan menjadi agung dalam hatinya
perintah Allah, maka engkau lihat ia bersegera dalam mengerjakan ketaatan,
menjauhi kemaksiatan dan keburukan. Syaikhul Islam berkata; "Semakin hamba
itu bertambah dalam mewujudkan 'ubudiyyahnya, maka semakin bertambah
kesempurnaannya dan menjadi tinggi derajatnya" [16]
2. Tadabbur dengan teliti terhadap Al-Qur'an,
hikmah-hikmah dan hukum-hukumnya, dan mencermati pelajaran dan
'ibrah-'ibrahnya. Hendaknya kita tadabburi ayat-ayat yang berbicara tentang
ciptaan Allah Ta’ala dan keindahan ciptaan-Nya, ayat-ayat yang berbicara
tentang hukuman dan siksaan-Nya yang keras, dan ayat-ayat tentang janji serta
ancaman. Tidak diragukan bahwa tadabbur Al-Qur'an akan berpengaruh dalam hati dan
akan kian menumbuhkan ta'zhimullah serta rasa takut kepada-Nya. Berkata Syaikh
Abdurrahman bin Qasim, penulis Hasyiyah ar Raudh, "Bahkan membaca satu
ayat dengan tadabbur dan tafahhum (memahami) lebih baik daripada membaca sampai
khatam tapi tanpa tadabbur dan tafahhum, dan lebih manfaat bagi hati serta
lebih menghasilkan iman dan merasakan kemanisan iman. Demikianlah qiraahnya
Nabi Sholallohu ‘alaihi wa sallam dan para salaf sesudahnya, sehingga satu ayat
itu di ulang-ulang sampai pagi. Dan inilah asal kebaikan/kesalihan hati. Termasuk
dari tipu daya syetan ia membuat para hamba Allah Ta’ala menjauhi tadabbur Al
Quran, karena ia tahu bahwa petunjuk itu akan datang dengan mentadaburi Al
Quran[17].
3. Mentafakkuri penciptaan langit dan bumi,
karena seorang yang mengamatinya pasti akan terkagum dengan keindahan ciptaan,
kebesaran serta kekuasaanNya. Meskipun begitu ia tidak melihat padanya ada
keretakan atau pecah. Allah Ta’ala berfirman.
"Yang telah menciptakan 7
lapis langit. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang, maka lihatlah berulang-ulang adakah kamu
lihat sesuatu yang tidak seimbang ? kemudian pandanglah sekali lagi niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan
penglihatanmu itupun dalam keadaan payah". (qs. Al Mulk:3-4)
Oleh karena itu Allah Ta’ala
memuji hamba-hambaNya yang mau mentafakkuri penciptaan langit dan bumi. Allah
Ta’ala berfirman:
"Sesungguhnya dalam
penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Rabb
kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Ali Imran ( 3):191).
Di antara hadits-hadits yang
menunjukkan tentang kebesaran langit adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Dzar
Al Gifari ra, bahwa Rasulallah Sholallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما السماوات السبع في الكرسي إلا كحلقة ملقة بأرض فلاة وفضل العرش على
الكرسي كفضل تلك الفلاة على تلك الحلقة.
"Tidaklah langit-langit yang
7 jika dibandingkan dengan al kursi kecuali seperti gelang yang terlempar di
padang pasir, dan kelebihan 'Arsy dibandingkan kursi seperti kelebihan padang
pasir tersebut dibandingkan gelang tersebut". (HR. Ibnu Abi Syaibah, dishohihkan
oleh al Albani).
Hadits ini menerangkan tentang
kebesaran langit-langit, Kursi, dan 'Arsy. Sementara kita –anak cucu Adam-
tidak ada artinya dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang besar itu, meskipun
demikian Allah Ta’ala berfirman –tentang langit dan bumi-:
"Kemudian Dia menuju langit
dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada
bumi, "Datanglah kamu keduanya menuju perintahKu dengan suka hati atau
terpaksa". Keduanya menjawab, "Kami datang dengan suka hati".
(qs. Fushilat (41):11).
Asy Syaukani berkata, "Yakni
kami laksanakan perintahMu dengan penuh ketundukan". Maka, subhanallah !
bagaimana manusia yang lemah dan hina ini takabbur dan menantang penguasa
langit dan bumi dengan maksiat dan dosa-dosa
? kita mohon kepada Allah Ta’ala
keselamatan dan 'afiat.
4. Memperhatikan keadaan
orang-orang yang lewat; di bumi ini pernah hidup kaum-kaum dan bangsa-bangsa
yang Allah Ta’ala berikan mereka itu kekuatan dan kelapangan fisik yang tidak
pernah Dia berikan kepada umat yang lain. Akan tetapi mereka kufur kepada Allah
Ta’ala dan mendustakan Rasul-rasulNya, maka Allah Ta’ala timpakan kepada mereka
kelaparan, rasa takut, dan Allah Ta’ala hancurkan mereka sehancur-hancurnya.
Inilah kaum 'Aad yang pernah berkata, "Siapakah yang lebih kuat daripada
kita ?". Allah Ta’ala binasakan mereka itu dengan angin yang sangat dingin
lagi amat kencang. Yang Allah Ta’ala, timpakan kepada mereka itu selama 7 malam
dan 8 hari terus menerus; maka kamu lihat kaum 'Aad pada waktu itu mati
bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon korma yang telah kosong
(lapuk). (qs. Al Haqqah (69):6-7). Dan inilah Tsamud yang pernah membuat rumah
dari gunung-gunung, Allah Ta’ala binasakan mereka dengan suara keras yang
mengguntur, maka mereka mati bergelimpangan di rumah-rumah mereka. (qs. Hud
(11):67). Dan Allah Ta’ala tidak sulit menyiksa umat-umat tersebut dan tidak
pernah Allah Ta’ala merasa sulit. Sesungguhnya urusanNya jika Dia menghendaki
sesuatu cukuplah Dia mengucapkan "Kun" maka jadilah sesuatu itu. Maka
bagaimana dengan kita-kita yang lemah dan kecil ini tidak takut tertimpa
seperti apa yang pernah menimpa mereka itu ?
5. Doa. Ia adalah obat yang
paling bermanfaat dan sebab yang paling kuat jika disertai dengan kehadiran
hati dan kejujuran niat, karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan
menyia-nyiakan siapa yang mengharapNya.
Allah Ta’ala berfirman:
Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al Baqarah(2):186)
Ya Allah Ta’ala, kami mohon
kepadaMu pengagunganMu dan rasa takut kepadaMu, dan anugerahkanlah kepada kami
taubat yang jujur yang akan membantu kami untuk ment'atiMu dan menjauhi maksiat
terhadapMu.
والله أعلم، و صلى الله عليه و سلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
[1] Al Qamus al muhith Il1470.
[2] Mukhtarus shihah h.185
[3] Lisanul 'Arab 12/409
[4] At Ta'aariif,
498.
[5] Tafsir ath
Thobari, 13/140.
[6] tafsir Abus
Su'ud, 9/38
[7] tafsir ath Tsa'labi, 4/328
[8] HR. Abu Daud, kitabus Sunnah, bab filJahmiayah (5/94-96),
dishohehkan Ibnul Qoyyim dalam Tahdzibus
Sunan, (7/95-117), di dhoifkan Al Albani, tahrij kitabus Sunnah Ibnu Abi
'Ashim, (1/252).
[9] 33 Sababan lil Khusyu', h.35-59.
[10] Tafsir al Qurthubi, 15/221.
[11] Ar Rohiqul Mahtum, 107. shahih Bukhori, 2/553, no.1071.
[12] majmu Fatawa, 21/282.
[13] Al Jawabul kaafi, h.46.
[14] qothfus Tsimar fi Bayaani aqidah ahlil atsar, 48.
[15] Kitabul Iman, 1/300.
[16] Kitabul Iman, 1/300.
[17] Hasyiyatur Roudh,2/207.
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !