Bismillah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Wa Ba'du.
Malam-malam kita tak lagi seperti dulu, yang syahdu
di bawah lantunan kalam ilahi dari para imam-imam tarawih. Penghujung
malam kita pun tak seperti dulu lagi, yang larut dalam tahajjud panjang,
lalu merengguh keberkahan sahur, sembari dzikir dan istighfar di
sela-sela sisa waktunya.
Saat Subuh tiba, shaf-shaf di masjid
terlihat lebih padat dibandingkan waktu subuh di luar Ramadan. Selepas
shalat, sebagian makmum lebih memilih duduk berdzikir menanti syuruq,
mereka berlomba-lomba meraup pahala haji dan umrah, yang disempurnakan
dengan mengerjakan shalat sunah dua rakaat.
Shalat kita pun tak
seperti dulu, yang lebih semangat memburu lima waktu jamaah di masjid.
Mengejar untuk mengkhatamkan Al Quran berulang kali, berlama-lama di
masjid untuk satu, dua atau bahkan tiga juz Al Quran setiap hari.
Sore
kita, tak lagi disibukkan dengan dzikir petang dan doa. Dulu kita larut
dalam detik mustajab di menjelang masuknya waktu Maghrib. Menikmati dua
ganjaran kebahagiaan; bahagia karena berbuka, dan bahagia karena puasa
kita menjadi wasilah bermuwajahah dengan Allah Swt. Tapi itu dulu,
lantas bagaimana dengan hari ini, pasca Ramadan? Bukankah Rabb yang
menjanjikan ganjaran berlipat selama Ramadan, Ia juga Tuhan yang sama
ketika di luar Ramadan?
Ada kata-kata menarik yang menyadarkan kita akan hal ini, “Kun rabbâniyyan, wa lâ takun ramadhâniyyan”
Jangan menjadi manusia Ramadan, yang kuat ibadahnya karena berada di
bulan Ramadan saja, karena setelah bulan itu berlalu, ia tak akan
mengalami perubahan hidup untuk menjadi lebih bertaqwa. Namun jadilah
manusia pasca Ramadan yang memiliki nilai kepribadian diri, penghambaan
kepada Allah yang tak kenal henti, menjadi manusia bertaqwa tanpa batas,
sesuai target yang diharapkan dari penggemblengan yang dilakukan selama
sebulan. Dengan syaratnya, ia harus menjadi hamba Allah yang bobot
ibadahnya terus meningkat, sekali pun ia telah berada di luar bulan
Ramadan.
Para sahabat menyiapkan diri mereka selama enam bulan
untuk menyambut kehadiran tamu agung bernama Ramadan. Pastinya mereka
mati-matian untuk beribadah full time selama sebulan penuh itu.
Layaknya bertemu dengan seorang yang dirindu, kita ingin berlama-lama
bersama dengannya, menjamu, memberinya pelayanan sebaik mungkin. Dan
tentunya kita akan merasakan kesedihan yang teramat dalam ketika harus
berpisah dengannya.
Hal yang sama dirasakan oleh sahabat nabi di
penghujung Ramadan, mereka tak gembira dengan baju baru, kue-kue dan
makanan ala lebaran seperti umumnya kita. Tapi mereka justru bersedih,
karena tamu agung itu sudah harus pergi meninggalkan mereka.
Mâ ba’da Ramadhân, inilah
masa-masa yang paling mencemaskan bagi para sahabat nabi. Mereka takut
akan amalan yang tertolak; puasa, qiyam yang panjang, tilawah yang
berulang kali khatam, infak harta, pengorbanan jiwa raga dari satu medan
perang ke perang lainnya, serta segudang amalan ibadah lainnya yang
mereka lakukan selama Ramadan, semuanya itu telah menjadi sebuah
kekhawatiran terbesar bagi diri mereka. Mereka lebih banyak
berkontemplasi, dan bermuhasabah dalam sebuah tanda tanya, “Apakah amal
ibadahku di bulan Ramadan kemarin diterima oleh Allah Swt.?”
Para sahabat merawat Ramadan dalam hati mereka dengan rasa khauf dan raja’.
Sekuat tenaga berusaha istiqamah dalam amalan ibadah mereka. Lengah
sedikit, akan memberikan indikasi amal ibadah mereka selama Ramadan
telah sia-sia. Karena di antara ciri dari diterimanya amal ibadah
seseorang dalam bulan Ramadan adalah; keringanannya dalam mengerjakan
kebaikan dan ibadah, serta jauhnya mereka dari melakukan kemaksiatan
kepada Allah Swt.
Enam bulan pasca Ramadan mereka masih bersedih
memikirkan kepergian Ramadan. Mereka memohon dengan sungguh-sungguh agar
amalan ibadah selama sebulan penuh itu diterima oleh Allah Swt.
Sedangkan di paruh tahun sisanya, mereka kembali bergembira, bersiap
diri menyambut kehadiran Ramadan, sang tamu agung yang selalu mereka
rindu.
Begitulah siklus hidup para orang shalih terdahulu, renggang waktu dari Ramadan ke Ramadan berikutnya diisi dengan taqarrub ilallâh. Seakan menutup semua celah untuk futur
dalam beribadah. Rindu mereka adalah rindu keimanan, pun dengan
kesedihan mereka, kesedihan karena iman. Sehingga hari-hari berjalan
penuh kekhusyukan, hati mereka tenang, diisi dengan mengingat Allah
dalam kondisi apa pun. Karena Allah telah memberikan jaminan, “Ingatlah,
hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar
Ra’du:28).
Mereka memiliki kepribadian yang layak untuk
diteladani. Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah ibadah kita melebihi
mereka sehingga lebih merasa hebat dan yakin kalau amalan Ramadan kita
diterima? Ittaqullâh yâ ahibbâ’i, ibadah kita pastilah masih jauh dari kesungguhan para sahabat itu. Sehingga rasa khauf dan raja’ yang kita miliki seharusnya lebih besar ketimbang mereka.
Walhasil, shalih pasca Ramadan bukanlah hal fiktif. Kita baru saja meninggalkan terminal ruhy, kita sudah men-charger diri kembali. Battery full yang kita miliki, ditargetkan bertahan untuk sebelas bulan berikutnya.
Ramadan
memang sudah pergi, karena datang dan pergi sudah merupakan bagian dari
sunnatullah dalam kehidupan ini. Memang dalam sebelas bulan ke depan,
tak ada puasa wajib seperti di bulan Ramadan lagi, tapi sekarang kita
masih memiliki amalan puasa yang lain, puasa sunnah 6 hari Syawal
misalnya, yang keutamaannya telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw. dalam
sebuah hadits, “Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadan lalu
menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya)
seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Masih ada
puasa lainnya, seperti puasa sunnah Senin dan Kamis, puasa ‘Arafah,
‘Asyura, puasa Daud, dsb. Qiyamul lail juga masih tetap bisa kita
lakukan. Shalat sunnah ini menempati posisi kedua setelah shalat fardhu
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw., “Shalat yang paling
utama sesudah shalat wajib adalah qiyamul lail.” (Muttafaqun ‘alaih).
Beliau juga menyebutnya sebagai da’bu shâlihin, atau tradisi dari orang-orang shalih.
Amal
ibadah yang menjadi rutinitas kita selama sebulan Ramadan diharapkan
memang sudah menjadi sebuah kebiasaan. Sehingga ketika Ramadan telah
berakhir, kita tak mengalami kesulitan untuk memulainya kembali. Mumpung
masih hangat aura Ramadan kita, mari bersama-sama kita hidupkan kembali
rutinitas baik kita itu. Menjadikan amalan-amalannya sebagai sebuah
kebiasaan, sekali pun sedikit, yang penting kita memiliki amalan andalan
dan rutin menjalankannya. Karena barang siapa yang memiliki amalan
rutin yang baik, selamanya ia tak akan mengalami kerugian, sekalipun ia
terkena uzur, pahala tetap mengalir untuknya.
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dituliskan, bahwa Rasulullah Saw.
telah bersabda, “Apabila seseorang menderita sakit atau sedang bepergian
maka dicatat pahala untuknya amal yang biasa ia kerjakan di saat ia
sehat dan tidak bepergian.” (HR. Bukhari).
Semoga kita tidak menjadi manusia Ramadan, yang optimal ibadahnya selama sebulan saja, dan free di sebelas bulan berikutnya. Tapi kita menjadi manusia rabbâniy, yang selalu mengingat Allah kapan dan dalam bagaimana pun kondisi kita, seperti karakter ulul albâb
yang termaktub dalam Al Quran, “(yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Al
Imran: 191).
Keadaan Yang Semestinya Selepas Ramadhan
Setelah kita mengetahui beberapa amalan di bulan Ramadhan yang bisa
menghapuskan dosa, juga pintu kebaikan dimudahkan, maka keadaan
seseorang selepas ramadhan seharusnya dalam keadaan seperti bayi yang
baru dilahirkan oleh ibunya, yaitu bersih dari dosa. Namun hal ini
dengan syarat, seseorang haruslah bertaubat dari dosa besar yang pernah
ia terjerumus di dalamnya, dia bertaubat dengan penuh rasa penyesalan.
Lihatlah perkataan Az Zuhri berikut, “Ketika hari raya Idul Fithri,
banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan tempat pelaksanaan
shalat ‘ied, Allah pun akan menyaksikan mereka. Allah pun akan
mengatakan, “Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat
kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam
keadaan mendapatkan ampunan-Ku.”
Ulama salaf lainnya mengatakan kepada sebagian saudaranya ketika
melaksanakan shalat ‘ied di tanah lapang, “Hari ini suatu kaum telah
kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.”[1]
Sudah Seharusnya Menjaga Amalan Kebaikan
Ketika keluar bulan Ramadhan seharusnya setiap insan menjadi lebih
baik dibanding dengan bulan sebelumnya karena dia sudah ditempa di
madrasah Ramadhan untuk meninggalkan berbagai macam maksiat dan mudah
melaksankan kebajikan. Orang yang dulu malas-malasan shalat 5 waktu
seharusnya menjadi sadar dan rutin mengerjakannya di luar bulan
Ramadhan. Juga dalam masalah shalat Jama’ah bagi kaum pria, hendaklah
pula dapat dirutinkan dilakukan di masjid sebagaimana rajin dilakukan
ketika bulan Ramadhan. Begitu pula dalam bulan Ramadhan banyak wanita
muslimah yang berusaha menggunakan jilbab yang menutup diri, maka di
luar bulan Ramadhan seharusnya hal ini tetap dijaga, bahkan bisa lebih
disempurnakan lagi sebagaimana tuntunan Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.”[2]
Seharusnya amal seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal datang menjemput. Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala
tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin
selain kematiannya.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[3]
Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah
selamanya. Ulama lainnya mengatakan, “Sembahlah Allah bukan pada waktu
tertentu saja”. Jika memang maksudnya adalah demikian tentu orang yang
melakukan ibadah sekali saja, maka ia sudah disebut orang yang taat.
Namun Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah sampai datang ajal”. Ini menunjukkan bahwa ibadah itu diperintahkan selamanya sepanjang hayat.[4]
Ibadah dan amalan ketaatan bukanlah ibarat bunga yang mekar pada
waktu tertentu saja. Jadi, ibadah shalat 5 waktu, shalat jama’ah, shalat
malam, gemar bersedekah dan berbusana muslimah, bukanlah jadi ibadah
musiman. Namun sudah seharusnya di luar bulan Ramadhan juga tetap
dijaga.
Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab
ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan
janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy
yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di
bulan Sya’ban saja. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, ”Jadilah
Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”[5] Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja.
Perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, ”Barangsiapa melakukan
dan menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya
amalan tersebut adalah dimudahkan untuk melakukan amalan ketaatan
lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan
kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan
ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan
menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan
ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling
jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan
ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat
lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. ... Mintalah
pada Allah agar diteguhkan dalam ketaatan hingga kematian menjemput. Dan
mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[6]
Para ulama juga mengatakan, “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, -pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Ingatlah pula pesan Ka’ab bin Malik, “Barangsiapa berpuasa di bulan
Ramadhan lantas terbetik dalam hatinya bahwa setelah lepas dari Ramadhan
akan berbuat maksiat pada Rabbnya, maka sungguh puasanya itu tertolak
(tidak bernilai apa-apa).”[7]
Semoga Allah menjadikan Ramadhan kita di tahun ini lebih bermakna
dari yang sebelumnya. Semoga kita senantiasa mendapatkan barokah bulan
suci ini. Amin, Yaa Samii’um Mujiib.
Wallâhu al Musta’ân.
0 komentar:
Posting Komentar
Wa Tawaashou Bil Haqqi Wa Tawaashou Bisshobri !